JAKARTA – I Gede Ari Astina atau Jerinx SID memenuhi panggilan Polda Bali terkait laporan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, Kamis (6/8). Ia akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali tersebut. Jerinx dengan didampingi pengacaranya, Wayan Gendo Suardana, tiba di Gedung Direktorat Kriminal Khusus Polda Bali pukul 10.30 Wita.
Jerinx menyebut, tidak ada yang salah dalam unggahannya di akun instagramnya tersebut. Ia mengatakan, unggahan yang dilakukannya merupakan sebuah bentuk kritik.
“Saya yakin 100 persen. Itu yang saya lakukan benar. Karena Saya enggak bermaksud negatif atau buruk. Yang saya lakukan murni kritik sebagai warga negara,” kata Jerinx, di Mapolda Bali, Kamis.
Selain itu, Jerinx juga mengatakan, tak ada niatan untuk menyebar kebencian dan menyakiti IDI.
“Saya ingin menegaskan sekali lagi saya tak punya kebencian dan niat menghancurkan atau menyakiti perasaan kawan-kawan IDI. Jadi, ini 100 persen sebuah kritikkan,” kata dia.
Jerinx SID sebelumnya dilaporkan ke Polda Bali oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali. Kabid Humas Polda Bali Kombes Syamsi mengatakan, laporan tersebut terkait dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang diunggah dalam akun Instagram milik Jerinx.
“Jadi, yang dilaporkan terkait dengan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik melalui medsos di akun Instagram-nya dia,” kata Syamsi, kepada pers, Selasa (4/8).
Ia mengatakan, unggahan yang dilaporkan salah satunya yakni menyebut IDI dan rumah sakit sebagai kacung WHO.
Adapun kalimat yang dimaksud yakni, “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah Sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19”.
Dalam hal ini, Jerinx diduga melanggar Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45A Ayat (2) dan/atau Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (3) UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Syarat Rapid Test
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, sebelumnya, Kuasa Hukum Jerinx, I Wayan Gendo Suardana mengatakan, kliennya tak pernah berniat menyebarkan kebencian dan mencemarkan nama baik IDI.
“Jangankan menyebarkan kebencian, untuk mencemarkan saja tak ada niat untuk itu,” kata Gendo.
Gendo meminta agar unggahan kliennya di Instagram dibaca secara utuh dan jernih. Sehingga bisa menangkap makna dari unggahan tersebut.
Unggahan tersebut, lanjut dia, merupakan pertanyaan yang ditujukan ke IDI sebagai sebuah organisasi profesi yang mengedepankan kemanusiaan. Gendo mengatakan, unggahan tersebut berawal dari keresahaan Jerinx yang mana ada syarat rapid test sebelum mendapat layananan di rumah sakit.
Jerinx menilai, syarat tersebut merugikan masyarakat karena bisa memperlambat penanganan. Dalam unggahannya, Jerinx mencontohkan adanya seorang ibu melahirkan yang kemudian telat mendapat pelayanan karena rapid test. Sehingga, Jerinx berpandangan perlu menyuarakannya dan mempertanyakan sikap dan tanggapan IDI. Sebab, menurut kliennya, kebijakan tersebut merugikan warga yang butuh layanan kesehatan.
“Intinya adalah meminta penjelasan kenapa IDI tidak melakukan tindakan secara keorganisasian,” kata dia.
WHO Cuci Tangan
Sebelumnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri pada Senin (3/8) cuci tangan dengan memastikan tidak akan pernah ada vaksin untuk menghadapi Covid-19, meski pembuatan vaksin terus dikejar. WHO lalu mendesak para pemerintah dan warga negara untuk fokus melakukan langkah-langkah dasar yang sudah diketahui, seperti pengujian, pelacakan kontak, social distancing, dan mengenakan masker. Hal-hal tersebut telah membentuk tatanan hidup baru (new normal) di masyarakat, di tengah mencuatnya krisis ekonomi.
“Bagaimana pun, tidak ada peluru perak (vaksin-red) sekarang – dan mungkin tidak akan pernah ada. Untuk sekarang, mencegah wabah dilakukan dengan dasar-dasar kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit. Lakukan itu semua,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers virtual yang dikutip AFP Senin (3/8).
Selain memastikan tidak akan ada vaksin, WHO juga sebelumnya, Senin (27/7) mendesak seluruh negara untuk menerapkan strategi komprehensif berdasarkan pengetahuan lokal, di mana virus menyebar di sana, karena lockdown bukan strategi berkelanjutan.
“Terus menutup perbatasan adalah tidak tepat menjadi strategi yang berkelanjutan untuk ekonomi dunia, untuk orang miskin di dunia, atau untuk orang lain,” kata Direktur Kedaruratan WHO, Michael Ryan kepada wartawan dalam konferensi virtual. (Utari)
Jerinx SID. (Ist)
JAKARTA – I Gede Ari Astina atau Jerinx SID memenuhi panggilan Polda Bali terkait laporan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, Kamis (6/8). Ia akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali tersebut. Jerinx dengan didampingi pengacaranya, Wayan Gendo Suardana, tiba di Gedung Direktorat Kriminal Khusus Polda Bali pukul 10.30 Wita.
Jerinx menyebut, tidak ada yang salah dalam unggahannya di akun instagramnya tersebut. Ia mengatakan, unggahan yang dilakukannya merupakan sebuah bentuk kritik.
“Saya yakin 100 persen. Itu yang saya lakukan benar. Karena Saya enggak bermaksud negatif atau buruk. Yang saya lakukan murni kritik sebagai warga negara,” kata Jerinx, di Mapolda Bali, Kamis.
Selain itu, Jerinx juga mengatakan, tak ada niatan untuk menyebar kebencian dan menyakiti IDI.
“Saya ingin menegaskan sekali lagi saya tak punya kebencian dan niat menghancurkan atau menyakiti perasaan kawan-kawan IDI. Jadi, ini 100 persen sebuah kritikkan,” kata dia.
Jerinx SID sebelumnya dilaporkan ke Polda Bali oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali. Kabid Humas Polda Bali Kombes Syamsi mengatakan, laporan tersebut terkait dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang diunggah dalam akun Instagram milik Jerinx.
“Jadi, yang dilaporkan terkait dengan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik melalui medsos di akun Instagram-nya dia,” kata Syamsi, kepada pers, Selasa (4/8).
Ia mengatakan, unggahan yang dilaporkan salah satunya yakni menyebut IDI dan rumah sakit sebagai kacung WHO.
Adapun kalimat yang dimaksud yakni, “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah Sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19”.
Dalam hal ini, Jerinx diduga melanggar Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45A Ayat (2) dan/atau Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (3) UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Syarat Rapid Test
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, sebelumnya, Kuasa Hukum Jerinx, I Wayan Gendo Suardana mengatakan, kliennya tak pernah berniat menyebarkan kebencian dan mencemarkan nama baik IDI.
“Jangankan menyebarkan kebencian, untuk mencemarkan saja tak ada niat untuk itu,” kata Gendo.
Gendo meminta agar unggahan kliennya di Instagram dibaca secara utuh dan jernih. Sehingga bisa menangkap makna dari unggahan tersebut.
Unggahan tersebut, lanjut dia, merupakan pertanyaan yang ditujukan ke IDI sebagai sebuah organisasi profesi yang mengedepankan kemanusiaan. Gendo mengatakan, unggahan tersebut berawal dari keresahaan Jerinx yang mana ada syarat rapid test sebelum mendapat layananan di rumah sakit.
Jerinx menilai, syarat tersebut merugikan masyarakat karena bisa memperlambat penanganan. Dalam unggahannya, Jerinx mencontohkan adanya seorang ibu melahirkan yang kemudian telat mendapat pelayanan karena rapid test. Sehingga, Jerinx berpandangan perlu menyuarakannya dan mempertanyakan sikap dan tanggapan IDI. Sebab, menurut kliennya, kebijakan tersebut merugikan warga yang butuh layanan kesehatan.
“Intinya adalah meminta penjelasan kenapa IDI tidak melakukan tindakan secara keorganisasian,” kata dia.
WHO Cuci Tangan
Sebelumnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri pada Senin (3/8) cuci tangan dengan memastikan tidak akan pernah ada vaksin untuk menghadapi Covid-19, meski pembuatan vaksin terus dikejar. WHO lalu mendesak para pemerintah dan warga negara untuk fokus melakukan langkah-langkah dasar yang sudah diketahui, seperti pengujian, pelacakan kontak, social distancing, dan mengenakan masker. Hal-hal tersebut telah membentuk tatanan hidup baru (new normal) di masyarakat, di tengah mencuatnya krisis ekonomi.
“Bagaimana pun, tidak ada peluru perak (vaksin-red) sekarang – dan mungkin tidak akan pernah ada. Untuk sekarang, mencegah wabah dilakukan dengan dasar-dasar kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit. Lakukan itu semua,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers virtual yang dikutip AFP Senin (3/8).
Selain memastikan tidak akan ada vaksin, WHO juga sebelumnya, Senin (27/7) mendesak seluruh negara untuk menerapkan strategi komprehensif berdasarkan pengetahuan lokal, di mana virus menyebar di sana, karena lockdown bukan strategi berkelanjutan.
“Terus menutup perbatasan adalah tidak tepat menjadi strategi yang berkelanjutan untuk ekonomi dunia, untuk orang miskin di dunia, atau untuk orang lain,” kata Direktur Kedaruratan WHO, Michael Ryan kepada wartawan dalam konferensi virtual. (Utari)