Mantan Wagub Provinsi Lampung Bahtiar Basri. (Ist)

BANDAR LAMPUNG – Fee paket proyek sudah menjadi hal biasa, bahkan di Dinas PUPR Provinsi Lampung ada tarikan kewajiban 10 hingga 15 persen.

Hal ini diungkapkan Bachtiar Basri mantan Wakil Gubenur Lampung saat dicecar pertanyaan oleh JPU KPK Taufiq Ibnugroho dalam persidangan teleconference Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Rabu (6/5).

“Apakah penarikan fee proyek juga di Pemprov Lampung?” tanya JPU.

“Saya tidak tahu ada atau tidak, tapi hanya suara-suara, tapi hampir semua dan sudah rahasia umum, itu bisa benar dan tidak dan kita payah untuk membuktikannya,” kata Bachtiar.

JPU pun terus mengejar berapa besaran fee yang ada di Provinsi Lampung.

“Karena saya dengar dan melakukan monitoring itu 10 sampai 15 persen,” jawab Bachtiar.

“Dalam BAP, apakah anda tahu ada fee di Provinsi Lampung? Anda menjawab soal fee proyek Lampung ada 10 sampai 15 persen di dinas PUPR Lampung Tapi saya tidak pernah menerima,” sebut JPU.

JPU pun kemudian menanyakan kaitan Bachtiar dengan Agung Ilmu Mangkunegara.

Bachtiar pun mengatakan perkenalan bermula pada tahun 2014 saat keluarga Agung Ilmu Mangkunegara datang ke rumahnya untuk meminta bantuan untuk melakukan pemenangan Agung dalam Pilbup 2014.

“Karena ayahnya teman saya, maka saya bantu, tapi saya tidak masuk tim sukses hanya saya menghubungi teman teman dekat saya untuk membantu Agung,” terangnya.

“Apakah setelah menang dijanjikan sesuatu?” sahut JPU.

“Tidak pernah,” seru Bachtiar.

JPU pun mulai menanyakan Alim seorang teman Bachtiar yang mendapat paket pekerjaan di Lampung Utara.

“Jadi tahun 2016, Alim meminta pertimbangan kalau dia mendapat paket pekerjaan Rp 10 miliar di Pemda Lampura dan saya sampaikan kalau ada fee nya jangan kalau gak ada ambil,” sebut Bachtiar.

JPU kemudian mempertanyakan status Alim apakah sebagai tim sukses yang ditunjuk oleh Bachtiar kala itu.

“Tim sukses bukan, mungkin karena orang tahu kalau Alim dekat dengan saya,” bebernya.

JPU kembali mempertanyakan uang Rp 500 juta apakah bentuk setoran fee proyek tersebut, namun oleh Bachtiar uang tersebut merupakan pembayaran rumahnya yang dibeli Alim.

“Menurut alim itu keuntungan dari proyek tersebut di dinas PUPR Lampura,” jelas Bachtiar.

Bachtiar menambahkan ia juga pernah melakukan mediasi sengketa pengesahan APBD antara DPRD dengan Bupati.

“Saat musrembang di Lampura saya melihat yusrisal DPRD dan Agung kemudian setelah selesai saya satukan dihadapan wartawan dan akhirnya keduanya jabat tangan dan APBD dapat disahkan,” tandasnya.

Terima Rp 350 Juta

Terima uang Rp 350 juta, Sri Widodo mantan Wakil Bupati Lampung Utara mengaku cuman terima rincian.

Hal ini diungkapkan Sri Widodo saat dicecar pertanyaan oleh JPU KPK Taufiq Ibnugroho dalam persidangan teleconference Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Rabu (6/5).

“Pada tahun 2015 apakah anda diberi uang Rp 350 juta dan uang lebaran Rp 32 juta dari Syahbudin?” tanya JPU.

“Rp 350 juta tidak, hanya angka, karena saya sering hutang ke Syahbudin saya gak nerima uang dan saya gak tahu uang itu dari mana, jadi uang itu gak ke saya karena saya banyak utang dan saat itu saya malah utang (lagi) Rp 170 juta,” kata Sri Widodo.

“Ini bagaimana operasional Wabup ke Syahbudin?” tanya JPU.

“Karena secara tidak tegas bupati menyampaikan kalau ada apa-apa hubungi Syahbudin,” jawab Widodo.

Selanjutnya tahun 2016, Widodo pun mengaku mendapatkan paket proyek sebanyak Rp 10 miliar dengan fee Rp 1,2 miliar.

“Dan tahun 2017, mendapat paket proyek sekitar Rp 4 miliar,” tandasnya.

Disetorkan ke BPK

Pungut fee paket proyek Tahun 2017 di Dinas Kesehatan, Dr. Maya Metissa Kadiskes Lampung Utara sebut uang untuk disetorkan BPK.

Hal ini diungkapkan Dr. Maya Metissa saat dicecar pertanyaan oleh JPU KPK Taufiq Ibnugroho dalam persidangan teleconference Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Rabu (6/5).

“Apakah pernah Desyadi (Kepala BPKAD Lampura) menemui anda dan meminta paket pekerjaan?” tanya JPU KPK Taufiq Ibnugroho.

Dr Maya pun mengaku jika Desyadi secara langsung tidak menemuinya melainkan berpesan ke stafnya Juliansyah.

Sesuai dalam BAP yang dibacakan oleh JPU, bahwa Tahun 2017, pada malam hari Juliansyah datang ke Rumah Dr Maya untuk menyampaikan jika dua pekerjaan senilai Rp 2,2 miliar feenya digunakan untuk opini wajar pengecualian.

“Nilainya saya tidak tahu, tapi katanya membutuhkan Rp 1,5 miliar,” katanya.

Lanjutnya dari dua proyek tersebut ternyata tidak bisa memenuhi permintaan uang tersebut.

“Dapatnya kurang lebih 800 juta. Sisanya ada proyek diambil dari proyek lain, kemudian Juliansyahsaya perintahkan menyerahkan,” kata Dr Maya.

“Uang BPK ini atas perintah siapa?” tanya JPU.

“Desyadi yang saya tahu, yang lain saya gak tahu,” jawan Dr Maya.

Dr Maya pun mengatakan dari tahun 2017 hingga 2019 Dinas Kesehatan melakukan pekerjaan dan terdapat penarikan fee.

Adapun pada tahu 2017 terdapat 97 paket proyek dengan nilai pagu Rp 19,6 miliar dengan fee Rp 3,9 miliar.

“Saya menyerahkan Rp 1,9 miliar dalam dua tahap ke Raden Syahrial sisanya Juliansyah,” sebutnya.

Sementara pada tahun 2018, kata Dr Maya, ada 49 proyek dengan pagu Rp 6,5 miliar dan fee sebesar Rp 1,2 miliar.

“Tahun 2019 gagal lelang, tapi ada paket proyek 2017 yang baru direalisasikan 2019, dengan nilai fee 958 juta,” tegasnya.

Dilain pihak, saat dicecar oleh penasehat hukum Agung Ilmu Mangkunegara, Sopian Sitepu, Dr Maya mengaku bahwa ia mengikuti pola yang sudah ada tanpa ada arahan dari Bupati.

“Kemudian uang yang anda serahkan ke Ami, apakah anda konfirmasi uang itu sudah diserahkan ke Agung atau tidak?” tanya Sopian.

“Tidak,” jawab Dr Maya

Saat disinggung soal penyerahan uang ke BPK sendiri, Dr Maya mengatakan bahwa penyerahan tersebut tidak ada arahan dari bupati.

“Ya sesuai permintaan Desyadi,” tandas Dr Maya.

Sri Widodo Copot Syahbudin

Kepada Bangkitlah com dilaporkan, Dari empat saksi yang dihadirkan, dua orang memberikan keterangan melalui video conference dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (6/5).

Keduanya yakni mantan Wakil Bupati Lampung Utara Sri Widodo dan Kadiskes Lampung Utara Maya Metissa.

Dalam kesaksiannya, Maya Metissa membenarkan adanya pergantian posisi bupati sementara pada 2019 dari Agung Ilmu Mangkunegara ke Sri Widodo.

“Bisa Anda jelaskan kenapa ada pergantian?” tanya JPU KPK Taufiq Ibnugroho.

“Waktu itu Bapak (Agung) mencalonkan lagi pada periode kedua, maka diangkatlah Sri Widodo jadi plt. Karena Agung cuti untuk mencalonkan lagi selama enam bulan,” kata Maya.

“Karena beliau gak pernah masuk dan didemo oleh stafnya. Sampai ada penolakan-penolakan,” kata Widodo.

“Saya ingatkan melalui BAP, saya ada masalah karena saat akan menjadi kandidat bupati, Agung saya cocokkan dengan Yusrizal. Namun ternyata dia memilih pasangan lain, sehingga Agung marah dan tak menghubungi saya lagi. Saat jadi plt bupati tetap ada lelang. Akhirnya dilelang, saya memunguti 20 persen ke Franstori karena Syahbudin loyal kepada bupati. Apa betul?” tanya JPU.

“Betul. Tapi fee itu untuk menggantikan utang di PPTK,” jawab Widodo.

Eks Wagub dan Wabup Jadi Saksi

Pengadilan Negeri Tanjungkarang kembali menggelar sidang perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (6/5).

Menariknya, dua mantan pejabat tinggi di Lampung dihadirkan menjadi saksi dalam sidang kasus yang menyeret Bupati nonaktif Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara itu.

Keduanya adalah mantan Wakil Gubernur Lampung Bachtiar Basri dan Wakil Bupati Lampung Utara Sri Widodo.

Sidang yang digelar secara teleconference ini diagendakan mendengarkan keterangan saksi.

Adapun jaksa penuntut umum (JPU) KPK Taufiq Ibnugroho akan menghadirkan empat orang saksi.

Dua di antara saksi tersebut belum sempat hadir dalam persidangan.

Adapun keempat saksi tersebut yakni mantan Wakil Bupati Lampung Utara Sri Widodo, mantan Kadiskes Lampung Utara Maya Metissa, mantan Wakil Gubernur Lampung Bachtiar Basri, dan Fadly Achmad.

Dari pantauan,  nampak Bachtiar Basri sudah tiba di ruang persidangan.

Bachtiar Basri duduk di kursi sembari berbincang dengan pengunjung lainnya.

Sidang Seminggu 2 Kali

Majelis hakim PN Tanjungkarang memutuskan untuk menggelar sidang perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara seminggu dua kali.

Kebijakan tersebut diambil sebagai langkah antisipasi mengingat wabah virus corona (Covid-19) yang melanda Bandar Lampung.

“Kita akan buat jadwalnya seminggu dua kali, takut ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” kata ketua majelis hakim Efiyanto dalam persidangan, Rabu (29/4).

JPU KPK Ikhsan Fernandi menyanggupi permintaan tersebut.

Syaratnya, sidang digelar dua hari beruntun, yakni hari Rabu dan Kamis.

Sementara penasihat hukum Agung Ilmu Mangkunegara, Sopian Sitepu, keberatan jika sidang digelar beruntun.

“Saya mohon sidangnya jangan langsung, tapi dijeda satu hari. Seperti Selasa dan Kamis,” kata Sopian Sitepu.

“Kami juga bingung membagi jadwal karena sekarang sidang daring. Kami gak bisa bergerak hari Senin dan Selasa. Kalau Jumat?” tanya Efiyanto.

“Kami tetap mengusulkan Rabu-Kamis,” sahut Ikhsan.

“Mohon maaf bagi penasihat, nanti kami dua minggu ke depan mau mengusahakan tukar jadwal,” timpal Efiyanto.

Sopian akhirnya menerima usulan tersebut.

Namun, dengan syarat JPU KPK segera mengonfirmasi saksi yang akan dihadirkan.

“Baik, untuk minggu depan jadwal sidang hari Rabu-Kamis,” kata Efiyanto. (Mardiana)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here