Poengky Indarti, Komisioner Kompolnas. (Ist)

JAKARTA – Mandat pencegahan tindak pidana terorisme telah diberikan kepada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Oleh karena itu dengan diberikannya kewenangan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melakukan pencegahan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Rancangan Peraturan Presiden Pasal 7,– potensial merusak dan tumpang tindih dengan mandat yang diberikan kepada BNPT. Hal ini ditegaskan oleh Poengky Indarti,–Komisioner Kompolnas kepada pers, Minggu (31/5).

Ia mengingatkan, reformasi sektor keamanan sebagai mandat dari TAP MPR Nomor VII tahun 2000 dan Undang-Undang TNI No 34/2004 yang harus dilanjutkan.

“Pemberian tugas kepada Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme ini membutuhkan payung hukum berupa aturan tentang Tugas Perbantuan dari TNI kepada POLRI,” tegasnya.

Ia menegaskan perwujudan segera mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sekaligus melanjutkan mandat Reformasi Sektor Keamanan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (2) TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi  “Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas

keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang”, dan pasal 7 ayat (2) angka 10 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (2) angka 10 yang berbunyi “Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undangundang”.

“Maka pembuatan undang-undang bagi pelaksanaan tugas perbantuan TNI kepada POLRI sangat dibutuhkan,” ujarnya.

Poengky Indarti, mengatakan dengan munculnya polemik di masyarakat, apalagi dalam situasi wabah COVID-19, dirinya berharap adanya penundaan pembahasan Rancangan Perpres tersebut.

“Melihat perlunya melanjutkan Reformasi Sektor Keamanan, maka akan lebih baik jika yang didahulukan adalah pembuatan undang-undang tugas perbantuan TNI kepada POLRI,” tegasnya.

Kepada Bangkitlah.com dilaporkan Poengky juga mengingatkan dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada Rancangan Peraturan Presiden pasal 2 ayat (1) TNI melaksanakan fungsi meliputi: a. penangkalan; b. penindakan; dan c. pemulihan,–yang di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tidak ada definisi penangkalan, penindakan dan pemulihan.

“Pelaksanaan ‘Penangkalan’ sebagaimana dimaksud dalam Rancangan Peraturan Presiden pasal 3 hingga pasal 6 berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan institusi lain, khususnya POLRI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan multi-tafsir sehingga membahayakan dalam penerapannya di lapangan karena rentan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia,” tegasnya.

Lebih lanjut menurutnya, fungsi penindakan dalam praktek sistem peradilan pidana adalah merupakan fungsi Aparat Penegak Hukum, sedangkan Tentara Nasional Indonesia adalah bukan Aparat Penegak Hukum, sehingga tidak dapat diberikan mandat untuk melakukan penindakan.

“Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 Rancangan Peraturan Presiden yang menjelaskan tentang kewenangan penindakan oleh Tentara Nasional Indonesia berpotensi menimbulkan permasalahan pada sistem peradilan pidana(Criminal Justice System) di Indonesia,” tegasnya.

POLRI Leading Sector

Poengky mengatakan POLRI telah melaksanakan tugasnya untuk melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana terorisme secara profesional dan mandiri. Bahkan, Densus 88 sebagai detasemen khusus anti teror Polri bahkan diakui sebagai salah satu detasemen anti teror terbaik di dunia. Hal ini menyambut polemik terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia Dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengamanatkan penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana terorisme.

“Undang-undang itu juta telah mengatur yang menjadi leading sector dalam upaya penegakan hukum adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI),” tegasnya.

Ia mengingatkan, sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) di Indonesia merupakan bagian dari keamanan sesuai dengan amanat konstitusi, dan bukan bagian dari pertahanan.

“Oleh karena itu Tentara Nasional Indonesia dalam menangani tindak pidana terorisme haruslah berada di bawah koordinasi (BKO) POLRI dan merupakan tugas perbantuan TNI kepada POLRI,” ujarnya.

Jangan Tumpang Tindih

Menyoroti Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia Dalam Mengatasi Aksi Terorisme, Poengky mengingatkan Pasal 43 huruf i Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.

“Dalam Rancangan Peraturan Presiden tersebut tidak terdapat definisi Aksi Terorisme yang dapat diatasi oleh Tentara Nasional Indonesia. Ketiadaan definisi Aksi Terorisme yang dapat diatasi oleh Tentara Nasional Indonesia membawa dampak tumpang tindih kerja institusi lain yang diberi kewenangan menangani tindak pidana terorisme, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Ia menjelaskan tumpang tindih kewenangan di lapangan, khusus menyangkut aparat bersenjata, akan berpotensi membahayakan keamanan Negara dan Bangsa, serta melanggar Hak Asasi Manusia.

“Namun, Aksi Terorisme tetap memerlukan tindakan oleh Tentara Nasional Indonesia dengan ketentuan khusus, misalnya pembajakan kapal di laut dan pembajakan pesawat udara. Definisi yang menjelaskan aksi terorisme seperti inilah yang dibutuhkan agar tidak terjadi tumpang tindih di lapangan,” ujarnya. (Utari)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here