KOTABUMI – Bertani kopi menjadi mata pencarian utama bagi sebagian warga di dataran tinggi pada empat kecamatan di Lampung Utara. Diantaranya Abung Tinggi, Abung Barat, Tanjungraja, dan Bukit Kemuning.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, kondisi yang dialami petani kopi diwilayah tersebut saat ini semakin berat karena selain harga jual yang anjlok, produktivitas hasil panen kopi di 2020 ini juga ikut terjun bebas.
“Nasib petani kopi pada musim panen 2020 ini sangat dilematis. Harapan berbanding terbalik dengan kenyataan. Selain harga jual anjlok jika dibanding dengan harga jual di 2019 lalu, perolehan hasil panen biji kopi sekarang karena faktor cuaca juga ikut terpuruk,” ujar Ketua Kelompok Tani (Poktan) Tunas Mekar, Kecamatan Tanjungraja, Yanto, di halaman kantor Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Lampung Utara, Jumat (3/07).
Yanto mengatakan harga jual biji kopi green been atau kopi beras (biji kopi yang telah dikupas kulitnya dan telah mengalami proses pengeringan dengan kadar air sekitar 12 persen) di 2019 sebelum masa pandemi covid-19 dibeli pedagang di kisaran harga Rp18–19 ribu per kilo. Panen 2020 di masa pandemi covid-19, harga jual turun di kisaran Rp16 ribu per kilo.
“Kata pedagang, turunnya harga beli karena sulitnya importir untuk mengekspor biji kopi keluar negeri. Sehingga biji kopi lebih banyak menjadi komsumsi masyarakat di Indonesia,” kata dia.
Di lapangan, panen raya kopi yang berlangsung di kisaran Juli, Agustus, dan September karena faktor cuaca dengan seringnya turun hujan, petani kopi mengeluh banyak bunga kopi maupun calon biji kopi yang masih muda rontok terkena terpaan air.
“Jika dibanding dengan hasil panen 2019 lalu, di kebun saya maupun di kebun kopi milik anggota kelompok atau petani kopi yang lain, keluhannya sama. Produktivitas hasil panen kopi untuk 2020, anjlok dengan presentase penurunan hasil panen sekitar 50–60 persen,” kata dia.
Dia mencontohkan hasil panen kopi dalam cuaca normal per hektare di 2019 lalu rata-rata berkisar 7–9 kwintal biji kopi.
“Di 2020 ini, untuk mendapatkan hasil panen lebih dari setengahnya saja, sudah suatu keberuntungan. Saya mewakili rekan-rekan sebagai petani kopi hanya sanggup menyampaikan keluhan. Turunnya harga jual kopi ditambah anjloknya produtivitas hasil panen menjadikan beban dipunggung kami semakin berat, karena kami memiliki keluarga yang mesti dihidupi,” kata dia. (Mardiana)