Rakyat Provinsi Maluku butuh kepastian pembangunan proyek Blok Gas Masela. Karena menjadi harapan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pemerintah diminta segera merealisasikannya. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Alumni Politik Ekonomi, Universitas Bremen Jerman mengulasnya bagi pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
PRESIDEN Joko Widodo mengumumkan pengelolaan kilang darat Blok Masela pada 16 Maret 2016. Tepat empat tahun silam. Presiden mengumumkan itu ketika berada di Bandara Supadio, Pontianak, dalam rangka melakukan kunjungan kerja di Kalimantan Barat.
Keputusan ini sedikit melegakan rakyat Maluku, yang memang menghendaki gas Masela dikelola dengan kilang darat.
Sebab, dengan kilang terapung, gas diambil dari bumi kemudian langsung diangkut ke kapal dan dikirim ke berbagai tempat. Kalau ini yang terjadi, di satu sisi akan sangat menguntungkan investor, sementara sangat merugikan Maluku sebagai pemilik sumber daya alam. Pengelolaan kilang terapung hampir pasti Maluku sekadar menjadi penonton ataupun juga tidak akan bisa menjadi penonton, karena letak Blok Masela yang berada di perbatasan negara.
Sebenarnya, upaya memindahkan kilang darat hanya merupakan satu langkah awal, karena dengan demikian akan memungkinkan pengelolaan gas dilakukan di Maluku. Ada harapan dengan kilang darat akan memunculkan aneka industri turunan, termasuk petrokimia di Maluku.
Ketika masih menjabat Menko Kemaritiman, Rizal Ramli pernah mengungkapkan, kalau ada sekitar 200 industri turunan dari gas, mulai dari plastik, bahan tekstil, aksesoris mobil, petrokimia dan sebagainya . Untuk itu, sangat wajar, kalau gas yang ada di Maluku dikelola di Maluku, kemudian produk akhir dari gas itu yang dikirim ke luar Maluku, termasuk ke negara lain.
Sebab, sangat ironis, kalau kekayaan gas Masela sebagian besar dikirim atau diekspor ke luar negeri, kemudian mengimpor kembali hasil akhir produk gas. Kalau gas diekspor, sesungguhnya Indonesia lebih memikirkan industry di luar negeri daripada berusaha mengembangkan industri dalam negeri.
Pertanyaannya, sampai kapan kekayaan alam dieksploitasi sedemikian rupa, tetapi tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini bukan saja tidak sejalan dengan semangat pasal 33 UUD 1945, tetapi menunjukkan kita tidak pernah belajar dari sejarah.
Pengalaman Pangkalan Brandan
Sumur minyak komersial pertama itu kalau tidak keliru di Polandia, kemudian diikuti dengan minyak di Amerika. Tidak lama setelah itu, seorang administrator perkebunan tembakau Belanda di Sumatera Timur, Aeilko Jans Zijlker yang sedang melakukan inspeksi bersama mandor pribumi.
Mereka kehujanan dan menginap di kemah tembakau yang sudah tidak dihuni. Zijlker takjub karena mandor menyalakan api dari kayu. Dia semula mengira kalau nyala itu bersumber dari pohon yang memiliki resin atau getah. Namun, mandor itu menjelaskan, kalau itu merupakan obor tanah.
Karena penasaran keesokannya dia mengambil sampel dan dikirim ke Batavia dan ternyata cairan itu mereka minyak bumi. Minyak bumi untuk pertama kali ditemukan di Langkat, di Hindia Belanda pada Juli 1884. Kemudian, Ziljker meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Belanda mencari modal dan kembali untuk mencoba usaha minyak. Ziljker mendapat konsesi Telaga Said dari Sultan Langkat.
Zijlker kemudian mendirikan perusahaan minyak, dengan sumber minyak dari Telaga Tunggal di Konsesi Telaga Said. Sumur ini ditemukan setelah melakukan dua kali pengeboran sumur secara manual, karena sumur pertama hanya menghasilkan 200 liter per hari.
Perusahaan Zijlker hanya berusia sekitar lima tahun, karena pada Juni 1890, muncul Koninklijke Nederlandse Petroleum Maatschappij (KNPM) atau dikenal Koninklijke” yang mengambil alih perusahaan Zijlker dengan modal 1.300.000 gulden. Nama koninklijke digunakan setelah mendapat izin dari kerajaan Belanda. Untuk mengelola minyak, Koninklijke mendirikan kilang pertama Hindia Belanda di Pangkalan Brandan. Sedangkan pengiriman minyak melalui Pangkalan Susu.
“Koninklijke” menemukan momentum ketika berkolaborasi dengan perusahaan Shell Inggris pada Februari 1907. Shell ini sebelumnya berdagang kerang dan rempah, sesuai dengan namanya. Kolaborasi keduanya melahirkan Koninklijke Shell Grup (The Royal Dutch Shell). Dimana 60 persen saham dimiliki Koninklijke dan Shell kebagian 40 persen.
Kemudian Koninlijke Shell Grup menyediakan modal bagi tiga perusahaan besar lainnya, yaitu Bataafsche Petroleum Mij (BPM) untuk kegiatan eksplorasi, ekstraksi, dan pemrosesan. Anglo Saxon Petroleum Co untuk kegiatan transportasi. Sedangkan Shell Petroleum Co bertanggung jawab untuk penjualan. Ketiga perusahaan ini memiliki anak perusahaan lagi yang tersebar di berbagai negara di dunia. Sampai tahun 1950-an, setidaknya dua perusahaan induk ini telah memiliki lebih dari 400 perusahaan yang beroperasi.
Pada tahun 1949, semua perusahaan di dunia menghasilkan total sekitar 487 juta ton minyak; kelompok Koninklijke Shell Groep menyumbang sekitar 52 juta ton atau sekitar 10 persen. Sementara di Indonesia, sebesar 50 persen produksi dikelola grup perusahaan ini.
Perusahaan ini dilengkapi dengan armada pengangkutan. Perusahaan ini setidaknya mempekerjakan 250.000 orang di seluruh dunia, termasuk sekitar 40.000 pekerja yang ada di Indonesia.
Selain itu, lebih dari 400 produk dibuat dari minyak mentah, di antaranya bensin, minyak pelumas, aspal, parafin, minyak diesel, dan minyak lampu. Perusahaan ini juga mengembangkan industri kimia, yang memproduksi pupuk, deterjen, aseton, alkohol, gliserin, bahan baku untuk plastik, insektisida, serta banyak pra-persiapan lain yang sangat diperlukan dalam industri dan pertanian.
Untuk mengembangkan industri, mereka juga ditopang dengan keberadaan 11 laboratorium untuk terus menemukan produk baru.
Tidak mengherankan, The Royal Dutch Shell merupakan salah satu grup raksasa dunia. Bahkan sampai saat ini. Dari sumber minyak bumi di Langkat, Sumatera Timur melahirkan raksasa dunia. Tapi, bagaimana nasib rakyat Langkat, Pangkalan Brandan, Sumatera saat ini? Minyaknya dikeruk dan sekarang mungkin ditinggalkan begitu saja.
Begitu juga, sejarah Pertamina tidak lepas dari puing-puing kilang Pangkalan Brandan, yang rusak ketika kedatangan Jepang dan Sekutu. Ketika kecil, penulis menyaksikan sendiri, bagaimana dari puing kilang itu, Indonesia berhasil mengekspor minyak perdana melalui Permina yang merupakan cikal bakal Pertamina.
Dari keberhasilan Permina ini membawa pengaruh ekonomi, bukan saja untuk Langkat dan sekitarnya, tetapi menjadi andalan pemasukan untuk Indonesia. Kini, Pangkalan Brandan dibiarkan terbengkalai, semoga tidak terjadi amnesia sejarah dan jasa besar Pangkalan Brandan.
Pengalaman seperti inilah yang tidak boleh terulang dalam pengelolaan Blok Masela.
Apalagi ada shell yang tumbuh dari Pangkalan Brandan, sekarang merupakan pemegang saham 35 persen di Blok Masela. Untuk itu, sejak awal, pemerintah dan pengelola wajib diingatkan untuk mengembangkan industri Maluku sesuai dengan kekayaan gas. Semua pihak wajib membicarakan dan peduli dari sekitar 200 industri turunan itu, ada berapa yang dibuat di Maluku? Hal ini sangat penting karena berkaitan dengan masa depan orang Maluku. Menjadi penonton, korban ataukah bisa menikmati kekayaannya untuk kesejahteraan orang Maluku.
Maluku terpuruk dalam kemiskinan. Keberadaan Blok Masela dapat menjadi momentum emas untuk mengangkat kesejahteraan Maluku. Kesempatan ini mungkin saja tidak terulang lagi. Kejayaan rempah hanya melahirkan kolonialisme, kekayaan ikan dan sumber daya laut hanya dikeruk dan Maluku tidak memperoleh bagian yang adil. Kini, haruskah gas Masela seperti itu lagi? Tidak. Mungkin saja, butuh teknologi untuk mengeluarkan gas dari perut bumi, tetapi Indonesia memiliki kemampuan dan sangat mampu untuk mengembangkan industri dari bahan gas.
Participating interest (PI) 10 persen itu sangat penting karena bisa menjadi modal, tetapi jauh lebih penting lagi untuk memikirkan industri seperti apa yang mau dikembangkan; menyiapkan masyarakat dan sumber daya manusia. Kalaupun PI 10 persen itu dikelola BUMD, sebaiknya memikirkan agar BUMD itu benar-benar diisi kalangan profesional yang memahami industri Migas, sehingga benar-benar mampu memainkan peran penting yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Jika tidak, kami khawatir, PI 10 persen itu tidak akan menemui sasaran yang benar-benar memiliki daya dorong untuk memangkas kemiskinan di Maluku.
Di akhir tulisan, mari kita mendorong pengelola Blok Migas, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memastikan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mengelola gas Masela dengan kilang darat. Artinya, semua hasil bumi dari gas Masela harus diolah di darat sebelum dikirim ke berbagai tempat. Sebab, akan sangat menciderai komitmen ketika ada yang dikelola di darat dan ada yang langsung diangkut dengan kapal dari laut.
Selain itu, pengelola dan pemerintah (pusat dan daerah) perlu memberikan gambaran seperti apa pemanfaatan gas Masela.
Sebab, tidak lucu, kalau semua gas dikirim ke luar Maluku, tanpa memikirkan untuk membangun industri di Maluku sesuai bahan baku gas yang ada. Dengan adanya industry, tentu aka nada harapan, Maluku mengirim produk akhir dari Maluku. Jika tidak, maka orang Maluku akan mengimpor kembali produk yang sesungguhnya berasal dari gas. Tidak boleh menjual singkong untuk membeli kripik singkong. Semoga!