JAKARTA – Kontorversi vaksin Nusantara gagasan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto harus segera dihentikan agar ujiklinis tahap 3 bisa segera berlanjut. Karena harapan masyarakat pada vaksin denditrik ini semakin besar setelah kegagalan vaksin-vaksin konvensional dalam menghadapi virus yang bermutasi
Hal ini juga menarik perhatian dan didesak beberapa ahli kesehatan hingga ahli virologi.
Ahli kesehatan dr Andreas Harry Lilisantoso, SpS (K) yang juga anggota “International Advance Research” Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) mendukung agar penelitian vaksin Nusantara dilanjutkan. Namun, penelitian tersebut tentu harus dilengkapi dengan publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah vaksin Nusantara nantinya diterbitkan baik nasional maupun internasional.
“Perihal vaksin Nusantara, lanjutkan terus penelitiannya dan penuhi kriteria-kriteria riset yang lazim dalam dunia ilmiah. Lalu dilengkapi publikasi dalam jurnal nasional maupun internasional,” kata Andreas.
Dengan adanya jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional, maka semua pihak terkait bisa dan terbuka untuk melakukan kajian-kajian. Selain itu, kajian tersebut dapat membuat vaksin Nusantara bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Menurut Andreas, bila yang dominan adalah komentar-komentar belaka tanpa bukti ilmiah, maka lebih banyak pada kondisi kontraproduktif. Apalagi jika komentar-komentar itu datang dari kalangan yang bukan kapasitasnya mengkaji sesuai keilmuan kesehatan.
Selain itu, Andreas berharap Terawan bisa berhasil melakukan penemuan vaksin yang sungguh-sungguh ilmiah. Menurut Andreas, Terawan merupakan rekan sejawat sesama alumni FK (Fakuktas Kedokteran) Unair saat melakukan studi S-2 spesialisasi radiologi pada 2004. “Harapannya, beliau terus melanjutkan penelitian vaksin Nusantara itu dengan standar-standar ilmiah yang bisa dikaji oleh pihak terkait,” kata Andreas.
Selain Andreas, ahli kesehatan lainnya, yakni Zaenal Abidin, meminta agar pembuatan vaksin Nusantara mengutamakan aspek keselamatan umum. Pria yang juga mantan ketua umum IDI (Ikatan Dokter Indonesia) itu menyebut vaksin Nusantara harus memenuhi segala prosedur kesehatan yang berlaku di tanah air.
Zaenal menyampaikan, semua negara sudah memiliki regulasi serta badan urusan obat dan vaksin. Di Indonesia, wewenang itu ada di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). “Siapa dan lembaga apa pun itu, tak terkecuali orang asing atau lembaga asing, harus nurut aturan,” ujarnya.
Zaenal juga menekankan bahwa obat dan vaksin menyangkut nyawa banyak manusia. Atas dasar itu, pembuatannya harus hati-hati dan mengikuti pendapat para ahli serta regulasi yang tepat.
“Tidak boleh diputuskan oleh keputusan politik atau kekuatan kekuasaan. Keselamatan orang banyak harus diutamakan,” tandas dia.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, sementara, ahli virologi Prof Chairul Anwar Nidom menyatakan dukungan atas vaksin Nusantara. Tentu saja, dukungan Chairul ini bukan tanpa alasan.
Peneliti virus itu mengaku dapat memahami penjelasan Terawan soal vaksin Nusantara. “Saya melihat Vaksin Nusantara berbeda karena dia tidak menentang virus, tetapi bersahabat,” kata Nidom dalam kanal YouTube Siti Fadilah Supari.
Bahkan, ketua Riset CoV dan Formulasi Vaksin Professor Nidom Foundation Surabaya itu menjelaskan makna soal vaksin Nusantara tidak menentang virus. Yakni yang membunuh covid-19 bukan antibodi, tetapi imunitas. “Saya melihat dari aspek virusnya. Kecepatan mutasi virus tidak bisa diikuti oleh penyiapan vaksin konvensional,” ujarnya.
Menurut Nidom, vaksin yang sudah dibuat tidak bisa membunuh virus yang bermutasi. Sebab, untuk membuat vaksin membutuhkan serangkaian proses yang panjang, bahkan bisa puluhan tahun.
Oleh sebab itu, Nidom menganggap vaksin yang digagas Terawan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Vaksin Nusantara itu cuma delapan hari sudah berganti jadi vaksin,” ucapnya.
Sedangkan ahli penyakit tropik dan infeksi dr Erni Juwita Nelwan SpPD menilai teknologi sel dendritik yang dipakai pada vaksin Nusantara itu sangat rumit. Ia bahkan menyinggung pemakaian teknologi ini umumnya memakan biaya yang cukup besar.
“Bahwa dendritik sel itu memang akan teraktivasi pada sebagian besar infeksi virus,” kata Erni. “Tetapi kalau kita membuat dendritik sel ini sebagai basic untuk kemudian bisa menjadikannya sebagai vaksin, saya rasa secara keilmuwan ini akan sangat luar biasa sulit dan mungkin bisa jadi mahal. Itu dari sisi manufacturing-nya, pembuatannya,” sambungnya.
Komentar lain datang dari pakar kesehatan Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH. Dia mengatakan, pertimbangan apakah vaksin Nusantara memiliki khasiat dan keamanan yang baik tentu harus dilihat dari hasil uji klinik-nya.
Menurut Prof Ari, pengembangan vaksin yang berbasis teknologi sel dendritik ini sama dengan vaksin covid-19 pada umumnya. Tujuannya yakni untuk menghasilkan antibodi pada covid-19.
“Mengenai sel dendritik memang menjadi salah satu alternatif bagaimana kita bisa memicu antibodi. Tapi sekali lagi ketika bicara soal produk, itu tahapannya,” ungkapnya.
Ari menambahkan bahwa harus tetap menunggu bagaimana hasil uji tahap I yang kemudian berlanjut tahap II sampai III. Dia berpesan agar masyarakat bisa menunggu hasil uji coba yang dilakukan vaksin Nusantara. Terlebih jika menanyakan sejauh apa efikasinya. (Utari)