JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menyampaikan bahwa Pemerintah mendorong pembangunan rendah karbon yang dimulai dari perencanaan dan juga pengaturan baik offset maupun perdagangan.
Lebih lanjut, Menteri LHK menjelaskan pengertian offset misalnya begini kalau naik pesawat tiketnya ada untuk karbon itu yang namanya carbon offset atau pesawat udara itu pakai fossil fuel ada karbonnya, maka karena memakai itu diminta membayar.
“Kalau misalnya proyek lalu dia buka lahan terus dia harus menanam lagi itu namanya offset. Ada yang dalam bentuk kontrak karbon,” ujar Menteri LHK usai mengikuti Rapat Terbatas di Istana Merdeka, Provinsi DKI Jakarta, Senin (6/7).
Dalam pengaturannya, menurut Menteri LHK, bisa juga untuk swasta, pemerintah, dan rakyat termasuk kalau rakyat menanam pohon, itu harus di diberi jasanya menanam pohon, yaitu jasa karbon.
Jadi, Menteri LHK sampaikan pengaturan-pengaturan seperti itu termasuk juga bursa, modelnya nanti model bursa komoditi dan rencananya pusat bursanya di Jakarta.
Pemerintah, menurut Menteri LHK melakukan analisis pakai standar nasional Indonesia jadi analisis jenis-jenis tutupan lahan seperti semak, hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan lain-lain standarnya ada SNI-nya tahun 2010 serta ada tata cara menghitungnya dengan deforestasi.
“Deforestasi itu secara gampang adalah perubahan atau berkurangnya hutan primer karena menjadi yang lain. Tapi standar yang kita pakai harus Standar Nasional Indonesia tahun 2014. Nanti ada kode SNI-nya,” kata Menteri LHK.
Pada kesempatan itu, Menteri LHK juga sampaikan bahwa ada juga cara-cara menghitung lain yang tidak pas untuk Indonesia, misalnya kalau satu pohon sehingga namanya deforestasi.
Di depan rumah satu pohon juga namanya deforestasi gitu, Itu yang belum pas dengan standar kita. Jadi ada hal-hal seperti itu juga tadi yang dibahas.
Presiden, menurut Menteri LHK, mengingatkan bahwa Indonesia punya kekayaan alam yang sangat besar, yaitu terutama di gambut, mangrove, dan hutan hujan tropis.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, luas hutan Indonesia, menurut Menteri LHK, 125 juta hektare di kawasan, kalau di daratannya kira-kira 120 juta hektare.
“Mangrovenya kira-kira 3 juta lebih, nanti ada datanya ya saya bisa kasih ya misalnya di Sumatra 835 ribu hektare, di Kalimantan 1,448 juta hektare, di Papua misalnya 846 ribu hektare. Terus gambut di Sumatra itu 9,65 juta hektare, di Kalimantan gambut itu 8,791 juta hektare,” jelas Menteri LHK.
Dengan kondisi ini, menurut Menteri LHK, Indonesia menyimpan karbon yang sangat besar jadi kalau gambut di atas dan di bawah itu menyimpan karbonnya itu bisa 1.000 ton per hektare.
Jadi, lanjut Menteri LHK, dibandingkan dengan hutan biasa/hutan tropis itu kira-kira 200 ton, kalau mangrove bisa sampai 227 ton per hektare yang bagian atasnya saja sedang di bagian bawah masih ada lagi potensi.
Presiden, menurut Menteri LHK, mengatakan seluruh potensi-potensi ini itu harus konkret pada masa pandemi bentuknya itu misalnya green sukuk, green bond, dan lain-lain.
Selama masa pandemi kemarin, menurut Menteri LHK, green sukuk Indonesia sangat diminati oleh dunia luar sehingga yang paling penting kata Presiden adalah konkret untuk memulihkan lingkungan.
“Caranya buatlah pembibitan mangrove yang luar biasa besar, apakah misalnya di Tarakan, Balikpapan, ataukah di tempat-tempat di mana, nanti kita sedang exercise untuk itu dari arahan Bapak Presiden,” pungkas Menteri LHK. (Adriana)