SEMARANG – Janji manis sistem gotong royong yang dijanjikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terbukti lagi hanya isapan jempol dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN–KIS). Presiden Jokowi diminta jangan menutup mata terhadap lembaga yang anti Pancasila dan memeras rakyat miskin yang sakit. Hal ini ditegaskan oleh Andreas Nur dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Tengah kepada Pers di Semarang, Sabtu (4/7) menanggapi kasus-kasus pasien miskin dalam menghadapi BPJS Kesehatan.
Andreas melaporkan, seorang pasien korban BPJS yang diadvokasi DKR Semarang Jumat (3/7). Ibu Karsinah warga kota Semarang dengan sakit kanker payudara dirujuk oleh Puskesmas ke RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro, Kota Semarang. Karena peralatan medis yang kurang memadahi kemudian di rujuk ke Rumah Sakit Islam Sultan Agung dengan menggunakan kartu BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran).
Ibu Karsinah kemudian dirawat sesuai dengan jaminan pelayanan kesehatan sesuai fasilitas kesehatan PBI yang dibayar oleh negara. Awalnya pasien merasa nyaman dengan pelayanan yang cukup baik. Namun beberapa waktu kemudian dokter sulit diakses oleh pasien.
Setelah beberapa kali melakukan perawatan dokter meminta ibu Karsinah mengikuti kemoterapi. Namun pasien menolak kemoterapi karena merasa tidak siap secara fisik. Ibu Karsinah kemudian meminta pulang.
Dokter mengijinkan pulang, namun meminta agar pasien membayar semua biaya pengobatan dan perawatan yang sudah berlangsung selama di Rumah Sakit.
“Hal ini sangat aneh dan mengagetkan pasien. Masuk RS dengan menggunakan BPJS PBI yang dibayar pemerintah. Tapi karena menolak kemoterapi, pasien disuruh bayar sendiri semua biaya di rumah sakit sebagai pasien umum,” ujar Andreas Nur.
Keluarga pasien ketakutan dan mau tidak mau mencari pinjaman untuk menutupi biaya perawatan ibu Karsinah. Karena kalau tidak segera membayar, biaya akan tambah membengkak.
DKR Kota Semarang segara menghubungi Dinas Kesehatan Kota Semarang, Kepala seksi Asuransi, Ibu Yuniar menanyakan kasus ibu Karsinah.
Yuniar membenarkan bahwa kalau pasien pulang atas kemauan sendiri maka semua pembiayaan ditanggung sendiri.
Andreas Nur mengatakan pasien tidak siap secara fisik menerima tindakan kemoterapi apakah harus dipaksa.
“Bukankah semua tindakan harus mendapat persetujuan pasien,” kata Andreas Nur kepada Yuniar.
Yuniar menjelaskan bahwa edukasi dan penjelasan harus diberikan oleh rumah sakit agar pasien menyetujui tindakan yang akan dilakukan.
“Ini juga terkait dengan sistim pembiayaan JKN yang menggunakan tarif INA CBG’s berdasarkan diagnosa termasuk obat, tindakan dan biaya perawatan,” jawab Yuniar melalui Whatsapp sambil memberikan Tony, Kepala Bidang Kepesertaan dan Pengaduan di Kantor Cabang BPJS Kota Semarang agar bisa segera dihubungi untuk pengaduan pasien.
Pada pagi hari petugas BPJS Kesehatan di RS Sultan Agung bernama Santy menghubungi DKR dan menyatakan segara memproses kepulangan ibu Karsinah.
“Saya diberitahukan keluhan pelayanan pasien Karsinah yang rawat inap di RSI Sultan Agung tanggal 1-2 Juli 2020 lalu sedang dalam proses tindak lanjut. Kemarin tanggal 3 Juli petugas BPJS sudah menghubungi keluarga pasien (Bp Aries) dan untuk tindak lanjutnya akan kami hubungi keluarga,” ujar Santy lewat chatting di Whatsapp.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, Andreas Nur mengatakan prinsip gotong royong yang dijanjikan dalam Undang-Undang SJSN adalah peserta yang sehat akan berkontribusi mendanai peserta JKN – KIS yang sedang sakit.
“Yang terjadi sebaliknya, iuran naik, tapi pelayanan pasien miskin dengan kartu BPJS PBI yang dibayar pemerintah, justru diminta bayar sendiri,” ujar Andreas. (Selmet Supriyadi)