Menkopolhukam, Mahfud MD. (Ist)

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengingatkan, status Covid-19 sebagai bencana nasional tidak bisa langsung dijadikan sebagai dasar untuk membatalkan kontrak-kontrak perdata, terutama kontrak bisnis.

“Pada 13 April lalu, presiden RI merilis Keputusan (Presiden) Nomor 12/2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional,” katanya, di Jakarta, Rabu (22/4).

Hal ini dia katakan saat menjadi pembicara kunci web seminar (webinar) berjudul “Perkembangan, Problematika, dan Implikasi Force Majure Akibat Covid Bagi Dunia Bisnis”‘

Diakui Mahfud, implikasi penetapan status Covid-19 sebagai bencana nasional memunculkan spekulasi bahwa Keppres itu bisa dijadikan dasar untuk membatalkan kontrak-kontrak bisnis.

Namun, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu menegaskan pemerintah tidak bermaksud menjadikan Covid-19 sebagai dasar yang seketika bisa dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak.

Ia memahami jika spekulasi itu muncul karena bencana dianggap sebagai force majeure, yakni kejadian luar biasa yang membuat orang tidak mampu memenuhi prestasinya karena peristiwa di luar kemampuannya.

“Di dalam hukum perjanjian memang ada ketentuan bahwa force majeure bisa menjadi alasan untuk membatalkan kontrak,” katanya.

Akan tetapi, kata dia, penetapan status Covid-19 sebagai bencana non-alam tidak bisa langsung dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak dengan alasan force majeure.

“Force majeure memang tidak bisa secara otomatis dijadikan landasan atau alasan untuk membatalkan kontrak, tetapi memang bisa dijadikan pintu masuk untuk bernegosiasi dalam upaya membatalkan atau mengubah isi kontrak,” katanya.

Selain itu, kata dia, pembatalan kontrak dengan alasan force majeure juga bergantung dengan isi klausul kontrak yang telah mencantumkan force majeure sebagai sebab pembatalan kontrak.

Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, Mahfud menyebutkan force majeure terbagi dua, yakni absolut atau kejadian yang secara mutlak meniadakan kemampuan pihak untuk memenuhi prestasinya yang dijanjikan karena kejadian luar biasa.

“Misalnya, musnahnya bangunan yang dijadikan jaminan kontrak karena bencana alam yang menyebabkannya ambles dan hilang seperti yang terjadi pada gempa di Palu pada 2008 yang menyebabkan banyak hotel-hotel mewah tenggelam dan hilang,” katanya.

Padahal, bangunan itu ada dalam dalam jaminan kontrak untuk meminjam uang ke bank yang bisa dilelang bank.

Kemudian, force majeure relatif, yakni force majeure yang mengubah keadaan, tetapi masih ada alternatif-alternatif yang dapat disubstitusikan, bisa diganti, bisa dikompensasi, bisa ditunda, dan sebagainya.

Misalnya, kata dia, pengantaran barang yang dititipkan maskapai penerbangan, tetapi pesawatnya mengalami kecelakaan sehingga barang tersebut hilang.

“Itu tentu bisa diatur ulang bersama penerbangan, bersama maskapainya, bukan langsung mengubah perjanjian. Bisa ditunda, nanti dikirim lagi, diurus dengan Asuransi, dan sebagainya,” kata Mahfud. (Adriana)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here