Oleh: Dr. Maruly H. Utama *
SETIAP Pejuang bisa dan terus menerus kalah tanpa kemenangan,– dan kekalahan itulah guru yang terlalu mahal dibayarnya.
Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah.
Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah Pramudya Ananta Toer (PAT).pernah mengingatkan.
Kutipan Pramudya di atas rasanya tepat dalam menggambarkan perjalanan politik Prabowo Subianto. Satu-satunya Jenderal Kopassus yang memiliki kesadaran untuk mendirikan Partai Politik dan berhasil membesarkannya. Sukses dalam meningkatkan suara Gerindra dari Pemilu ke Pemilu.
Tapi keberhasilan itu tidak berbanding lurus dengan capaiannya dalam setiap Pilpres. Seperti ada kekuatan yang tidak kasat mata menghalanginya menjadi Presiden.
Melalui kutipan Pramudya Ananta Toer barangkali bisa menjelaskan sebab-sebab kekalahannya walaupun Prabowo tidak pernah menyerah.
Berawal dari isu perpecahan antara faksi Merah Putih dan faksi Hijau ditubuh ABRI era 90an. Faksi merah putih adalah kelompok perwira nasionalis yang dimotori Benny Moerdani, Hendropriyono, Edi Sudrajat, Luhut Binsar dan Agum Gumelar
Sementara faksi hijau adalah perwira yang menaruh simpati terhadap kelompok Islam yang diwakili ICMI yang dipimpin BJ. Habibie. Jenderal yang masuk dalam faksi ini adalah Faisal Tanjung, R. Hartono dan Sjafrie Sjamsuddin.
Simpati para perwira tak lepas dari peran Prabowo seperti diungkap oleh Kivlan Zen dalam bukunya Konflik dan Integrasi TNI AD (2004). Prabowolah yang mendekati para perwira untuk memberikan simpati pada Habibie dan ICMI.
10 Maret 1998 SU MPR memilih Soeharto yang juga mertuanya sebagai Presiden dan Habibie, orang yang mendapat simpati faksi ABRI hijau sebagai Wakil Presiden. Dua orang dekatnya menjadi orang paling berkuasa di negeri ini.
Dua minggu setelah SU MPR, Prabowo mendapatkan bintang tiga dibahunya dan menjabat sebagai Pangkostrad. Selangkah lagi meraih bintang empat untuk menjadi Panglima ABRI.
Situasi berubah dengan cepat, 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dan secara resmi Habibie menggantikannya menjadi Presiden.
Kemudian Prabowo mendengar tuduhan bahwa dirinya merancang kudeta terhadap Habibie. Informasi itu disampaikan Wiranto kepada Habibie dan diperkuat Sintong Panjaitan – rival Prabowo di Kopassus.
Berita kudeta membuat Habibie marah dan meminta Wiranto mencopot Prabowo dari jabatannya sebagai Pangkostrad sebelum matahari terbenam. Hari itu juga jabatan Pangkostrad dicopot. Setelah pencopotan itu karier militer Prabowo benar-benar selesai. “Diselesaikan” oleh orang yang mendapatkan simpati ABRI hijau atas kerja – kerja penggalangan Prabowo. Peristiwa ini adalah kali pertama kutukan politik mulai bekerja.
Selanjutnya Prabowo menjadi bulan-bulanan. Kerusuhan Mei 98 dan kasus penculikan aktivis mengejar seperti kutukan bagi Prabowo. Akibatnya sampai sekarang stigma penculik melekat tanpa ada yang bisa menjawabnya. Karena memang baik Prabowo maupun lingkar dalamnya tidak memiliki legitimasi moral untuk bicara.
Tahun 2008 Prabowo mendirikan Gerindra, untuk ikut Pemilu pertama kali tahun 2009. Taktik dengan menjadi Cawapres Megawati berhasil membuat Gerindra meraih 4,46% dari total suara sah Nasional. Walaupun demikian kutukan politik membuatnya kalah dari pasangan SBY – Boediono.
Menapak 2012, Prabowo mendorong Jokowi Ahok untuk menjadi Gubernur DKI. Semua rintangan diatasinya untuk memenangkan Jokowi Ahok. Jokowi berhasil menjadi Gubernur DKI yang pembiayaannya disupport oleh Hashim Djojohadikesumo, adik kesayangannya yang terlibat dalam mendirikan Gerindra.
Pada Pemilu 2014 perolehan suara Gerindra meningkat secara segnifikan menjadi 11,81%. Tetapi kutukan politik itu masih ada dan melekat pada perjanjian batu tulis sehingga Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa dipaksa mengakui keunggulan Jokowi JK yang menjadi Presiden dan Wapres.
Pilgub DKI 2017 Prabowo menjagokan Anies Sandi. Kutukan politik nampaknya hanya untuk Prabowo, tidak bagi orang yang dipromosikannya. Anies Sandi berhasil menjadi Gubernur dan Wagub yang menang dengan controversial.
Saat Pemilu 2019 dengan kekuatan modal yang begitu besar, lagi-lagi Prabowo Sandi harus menerima takdir kutukan politik. Kalah dari pasangan Jokowi – Maruf Amin walaupun suara Gerindra kembali meningkat menjadi 12,3% dari suara sah Nasional yang menjadikan Gerindra berada diurutan kedua terbesar setelah PDIP yang meraih 19,33% suara.
Kutukan politik tidak berhenti mengejar Prabowo. Anies Baswedan yang jika bicara selalu melet-melet menjadi kompetitornya dalam Pilpres 2024. Begitu pula Sandi Uno yang dibesarkan Prabowo, pergi karena watak pedagang selalu memandang politik dalam perspektif bisnis. Selalu mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Satu-satunya orang yang berusaha mensupport Prabowo hanya Jokowi, “Saya senang naik sepeda dan seringkali rantai sepeda putus. Tapi percayalah Pak Prabowo, persahabatan saya dengan Pak Prabowo tidak seperti rantai sepeda,” Kurang lebih demikian pernyataan Jokowi untuk menenangkan dan menghibur Prabowo.
Tidak usah bertapa di Gunung Lawu. Tidak perlu semedi di Goa Istana Alas Purwo. Tidak juga dibutuhkan sesajen di Pantai Selatan untuk menghalau kutukan politik. Sebab kutukan politik akan berhenti dengan sendirinya ketika Prabowo memilih Budiman Sudjatmiko sebagai Cawapres.
Selain memiliki legitimasi moral yang kuat untuk bicara tentang penculikan aktivis, Budiman yang mendapatkan dukungan dari rakyat pedesaan dan kaum kaum milenial ini memiliki pisau analisa dialektis untuk menyembuhkan trauma Prabowo-Phobia. Melaluinya kutukan politik dan jalan keluarnya bisa diilmiahkan. Dengan ketajaman MDH – Matrerialisme Dialektika Historis, Budiman bisa mengubah kutukan menjadi kekuatan politik, mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Melalui Budiman, rakyat menemukan pimpinan masa depannya,– Prabowo Subianto.
Tidak ada kesempatan kedua Jenderal! Budiman adalah simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Saat Prabowo dicopot dari Pangkostrad, Budiman di dalam penjara. Sama-sama merasakan suasana batin sebagai orang yang kalah. Sekaranglah saatnya untuk bersama-sama meraih kemenangan.
Sekalipun Budiman tidak terpilih menjadi Cawapres, kami tetap mendukung Jenderal dengan sepenuh hati. Walaupun dukungan yang kami berikan dapat dipastikan adalah dukungan untuk Capres yang akan kalah lagi karena dihantui kutukan politik.
*Penulis Dr. Maruly H. Utama
DPP Prabu – Dewan Pimpinan Pusat Prabowo Budiman Bersatu