JAKARTA- Daya tahan tubuh yang rendah, tentu membawa resiko pada pasien cuci darah ditengah wabah virus Corona yang semakin meluas. Satu demi satu pasien gagal ginjal yang dinyatakan ODP (Orang Dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) COVID-19 ditolak cuci darah di berbagai rumah sakit. Ketahuan, bahwa penanganan Corona tidak memiliki strategi dan prioritas yang tepat. Hal ini disampaikan oleh Petrus Harijanto, Sekretaris Jenderal KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) di Jakarta, Senin (6/4)
“Banyak fasilitas layanan kesehatan yang menyelenggarakan unit hemodialisis ternyata tidak memiliki ruang isolasi khusus bagi pasien gagal ginjal yang terkena status ODP, PDP dan Suspect COVID-19. Haruskah pasien cuci darah yang dikorbankan dalam situasi seperti ini? Toh kalau sudah terkena paling mampus? Mereka tak akan bisa diselamatkan,” tegasnya.
Ia mempertanyakan strategi kebijakan dalam mengatasi wabah Corona yang carut marut dan lambat sehingga beresiko pada masyarakat dan pasien dengan penyakit penyerta tertentu seperti pada pasien hemodialisa yang gagal ginjal harus cuci darah secara berkala.
“Apa begitu para pengambil kebijakan di bidang kesehatan cara berpikirnya? Harus ada sekelompok masyarakat yang dikorbankan dan tidak perlu dipikirkan cara menanganinnya,” ujarnya.
Selama ini pasien hemodialisa hanya bisa mengadu kepada KPCDI, yang beberapa hari lalu membuka layanan hotline pengaduan. Namun seruan KPCDI beberapa hari yang lalu melalui media massa, ternyata tidak didengar oleh Pemerintah.
Di lapangan, rumah sakit penyelenggara hemodialisa belum menjalankan protokol yang dikeluarkan PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) sepenuhnya dalam menangani pasien gagal ginjal yang dinyatakan ODP, PDP dan suspect terinfeksi virus corona.
Dalam protokol itu disebutkan, rumah sakit dihimbau untuk menyediakan ruangan isolasi untuk menyelenggarakan hemodialisa bagi pasien ODP, PDP, dan suspect. Juklaknya sudah lengkap dan terinci.
Menurut Permenkes 812, PERNEFRI adalah organisasi profesi yang mempunyai tugas memberi advis kepada Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan Propinsi, berkaitan mutu pelayanan penyelenggaraan hemodialisa di fasilitas kesehatan.
Standar Operasional Prosedur (SOP) tersebut sudah disosialisasikan ke semua stakeholder. Menteri Kesehatan, Dinas Kesehatan sudah tahu, yang notabene anggota Satgas Percepatan Penanganan Wabah Virus Corona.
“Masalahnya, sampai hari ini mayoritas belum menjalankan. Rumah sakit tidak melakukan usaha itu. Bila menghadapi pasien yang tersebut di atas, rumah sakit tidak mau ambil pusing dengan cara mengirim pasien ke rumah sakit rujukan. Mereka ramai-ramai cuci tangan dengan alasan tidak ada layanan khusus bagi pasien cuci darah yang terinfeksi virus corona,” jelasnya.
Di rumah sakit rujukan juga sama, pasien ditelantarkan, tidak dilakukan tindakan cuci darah. Sang pasien yang tubuhnya penuh racun dan cairan sudah tersiksa, dan hanya menunggu ajal.
“Rumah sakit menelantarkan mereka karena mereka sebenarnya tidak menyediakan mesin hemodialisa di ruang isolasi,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso dan RSUP Persahabatan pun tidak memiliki fasilitasi ruang hemodialisa khusus bagi pasien gagal ginjal yang terklasifikasi sebagai ODP, PDP dan positif terinfeksi. Rumah sakit rujukan unggulan itu tidak melakukan langkah persiapan, apalagi rumah sakit swasta.
“Yang harus mereka ingat, jumlah penderita gagal di Indonesia hampir mencapai 200.000 jiwa. Mereka adalah kelompok yang sangat rentan tertular corona,” ujarnya.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, Petrus Harijanto menyatakan prihatin terhadap pelayanan kesehatan tidak mematuhi standar pelayanan pada pasien yang beresiko tinggi dalam menghadapi wabah Corona saat ini.
“Kalau dengan yang ODP dan PDP gimana? Mereka kan belum tentu positif? Mereka juga kalian terlantarkan. Semakin hari semakin nyata mereka yang belum tentu positif terinfeksi akan mati karena tidak dilayani cuci darah. Atau sebaliknya status tersebut juga berpotensi menularkan kepada keluarga terdekat apabila pun positif terinfeksi. Ini akan lebih berbahaya,” ujarnya.
Ia menceritakan kepanikan pasien hemodialisasi disaat wabah Corona seperti saat ini karena tidak ada kepastian keselamatan atas waba Corona.
“Kami harus bagaimana? Pasrah dan menunggu giliran di-ODP-kan? Kami semua sekarang dalam kondisi panik. Bila demam mendera, kami panik. Bila batuk parah kami takut. Takut, ketika akan cuci darah dilakukan pemeriksaan, lalu dinyatakan PDP, dan tidak ada fasilitas khusus untuk kami tetap cuci darah. Ngeri sekali situasi sekarang,” ujarnya.
Namun demikian KPCDI akan tetap memperjuangkan anggotanya semaksimal mungkin dihadapan buruknya pelayanan kesehatan yang mereka terima di masa wabah Corona.
“Kami tidak lelah berjuang. Kami akan terus mengawal nasib teman-teman yang mengalami diskriminasi pelayanan kesehatan ini. Kami butuh dukungan publik. Mohon viralkan setiap upaya kami menolong nyawa pasien,” ujarnya.
Perlu diketahui kelompok masyarakat yang rentan dalam wabah Corona adalah orang usia lanjut, pasien jantung, pengidap asma, dan pasien ginjal yang menjalankan hemodialisasi (cuci darah), pengidap Deabetes Militus dan Pasien Cancer (Adriana)