PESAWARAN – Kerajinan tapis merupakan warisan yang dimiliki masyarakat Lampung. Bahkan, hingga kini kain khas daerah tersebut masih digemari warga.
Warga di Desa Kagungan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Pesawaran, sebagian besar menggantungkan hidupnya dengan membuat kerajinan tapis.
Pembuatan kain tapis di daerah tersebut menjadi kegiatan rutin dan turun-temurun ke anak-anaknya. Seorang warga bernama Evi yang menekuni pekerjaan menjadi pengerajin tapis sejak 1993.
“Kalau dulu saya bisa karena diajari orang tua yang asli warga sini. Sehingga, kami anak-anaknya diwajibkan untuk bisa dan menjadi tradisi turun-temurun,” ujarnya.
Dia mengatakan, hampir seluruh warga desa tersebut dapat membuat kain tapis hingga menghasilkan pundi-pundi uang dan membantu perekonomian keluarga.
“Kami bisa membuat kain tapis dengan berbagai motif, seperti besakhung, cantik, abung, jung Krui, dan jung syarat. Dari motif itu harganya juga berbeda-beda tergantung tingkat kerumitan dari motifnya,” ujar dia.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, menurut Evi, kain tapis sepaket sarung dan selendangnya dibanderol mulai dari Rp400 ribu hingga Rp3 juta.
“Paling mahal motif ujung syarat bisa Rp3 juta, karena waktu pengerjaannya juga bisa sampai dua bulan lebih. Motif ini benangnya menutup semua kain, sehingga harganya lumayan mahal dan pengerjaannya lama,” kata dia.
Menurutnya, pandemi covid-19 berpengaruh besar terhadap penjualan dan harga jual tapis di pasaran. Hal itu membuat banyak warga berhenti membuat tapis.
“Biasanya kami mengirim kain tapis ke toko-toko di Bandar Lampung. Tapi, dua tahun terakhir kami tidak bisa mengirim, karena mereka beralasan masih ada barang di toko dan pesanan juga sepi,” katanya.
Warga desa saat ini hanya menjadi buruh upah dari pesanan konsumen. “Kami membuat tapis motif besakhung diupah Rp350 ribu, sedangkan selendang tapis diupah Rp25 ribu sampai Rp30 ribu,” ujarnya. (Marliyah)