JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, segera menetapkan harga standar tes cepat COVID-19 yang menjadi syarat bepergian.
“Apabila standarisasi harga tersebut tidak segera ditetapkan, maka berpotensi membuka peluang komersialisasi yang akan membebani masyarakat, khususnya masyarakat yang akan bepergian,” ujar Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Jika penentuan harga agar seragam dirasa sulit, ia meminta pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap harga tes cepat COVID-19 agar tidak terjadi penyimpangan dan komersialisasi oleh rumah sakit atau klinik swasta.
Untuk masyarakat yang dites reaktif dan membutuhkan layanan kesehatan darurat, Bamsoet mengimbau agar langsung berobat ke rumah sakit rujukan pemerintah yang menangani COVID-19.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk memberikan subsidi pembiayaan tes cepat COVID-19 bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan dengan angkutan umum, terutama pesawat udara, kereta api, dan bus AKAP (Antar-Kota Antar-Provinsi).
Ia mengatakan saat akan melakukan penerbangan ke Yogyakarta dan Solo, sejumlah pihak ada yang memberlakukan harga tes cepat sebesar Rp300.000, tetapi ada juga yang hanya Rp100.000.
Sesuai Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 9 Tahun 2020 pada 26 Juni 2020 yang merupakan perubahan dari SE Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19, persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat yang akan bepergian dengan transportasi umum adalah wajib menunjukkan hasil tes PCR dengan hasil negatif atau tes cepat dengan hasil non-reaktif yang berlaku selama 14 hari.
Ombudsman RI Tanggapi Batasan Tarif
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, secara terpisah, anggota Ombudsman RI Alvin Lie menanggapi Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi.
Dalam SE tersebut ditetapkan bahwa biaya rapid test tertinggi adalah Rp150 ribu.
“Kenyataannya, itu bisa ditekan menjadi Rp150 ribu,” ujar Alvin kepada pers di Jakarta, Selasa (7/7) malam.
Alvin khawatir selama ini ada indikasi terjadinya monopoli atau oligopoli alat rapid test sehingga tarif rapid test lebih tinggi daripada yang ditetapkan Kemenkes RI.
Kekhawatiran tersebut didasarkan laporan yang dia terima di sejumlah daerah bahwa alat rapid test itu dibeli dengan harga di atas Rp200 ribu.
“Selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan karena sudah menjadi komoditas dagang, itu ada sanksinya atau tidak (kalau menetapkan tarif di atas Rp150 ribu,” kata Alvin.
Alvin khawatir rumah sakit di daerah mematok biaya rapid test di atas batasan biaya yang ditetapkan Kemenkes RI karena tidak memiliki pilihan untuk membeli alat rapid test tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
“Belinya di tempat itu-itu saja. Yang dikhawatirkan rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Ketika (batasan harga) ini diturunkan, siapa yang menanggung rugi,” kata Alvin.
Alvin menanyakan apakah mereka yang sudah telanjur membeli stok alat rapid test di atas batasan harga tersebut, kelebihan uangnya dapat dikembalikan?
Masalahnya, selama ini sertifikat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid test telah menjadi kebutuhan masyarakat yang mau melakukan perjalanan domestik. Bahkan, sudah dijadikan persyaratan oleh kebijakan pemerintah.
Kendati hasil rapid test nonreaktif pun, kata dia, sebetulnya tidak membuktikan bahwa seorang pelancong tidak mengidap COVID-19.
“Rapid test ini hanya tes antibodi. Tidak ada gunanya untuk mencegah penularan COVID-19,” kata Alvin.
Alvin meminta peninjauan ulang kebijakan pemerintah yang mengatur tentang persyaratan bepergian harus menunjukkan sertifikat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid test.
Ia menyarankan sebaiknya alat rapid test, yang ada selama ini, difungsikan khusus untuk pendeteksian kasus COVID-19 di kawasan zona merah saja.
Alvin juga menyarankan alat tes cepat itu difungsikan kepada orang-orang yang benar-benar terindikasi (suspect) COVID-19 sehingga bisa lebih cepat ditangani.
“Tidak menjadi syarat administratif untuk perjalanan menggunakan pesawat, kereta, atau kapal,” ujar Alvin.
Alvin berharap Kemenkes RI juga dapat menertibkan pelayanan Polymerase Chain Reaction (PCR) test atau tes usap (swab test) serta juga menetapkan batasan biayanya.
“Agar transparan karena ini sudah menjadi kebutuhan publik saat ini,” kata Alvin. (Adriana)