Ilustrasi daun ganja. (Ist)

JAKARTA– Mahkamah Konstitusi menggelar Sidang Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 dengan agenda mendengar keterangan ahli pada hari ini Senin (30/8).

Dalam sidang Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 6 ayat (1) huruf a beserta Penjelasan dan Pasal 8 ayat (1) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut Pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, dan kawan-kawan menghadirkan tiga ahli hari ini.

Setelah para ahli memaparkan pandangan berdasarkan keahliannya masing-masing, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menanyakan terkait kualitas riset tentang ganja medis di Indonesia kepada ahli.

Pertanyaan tersebut di antaranya ditujukan oleh ahli Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., L.L.M. yang kini menjabat sebagai Dekan FH Unika Atma Jaya Periode 2019-2023.

Manahan mengatakan mengapa ganja yang begitu banyak di Indonesia misalnya di Sumatera tidak bisa dimanfaatkan.

Kepada Bangkitlah.com di Jakarta dilaporkan, hal tersebut disampaikannya dalam Sidang Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020, Senin, 30 Agustus 2021 yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Senin (30/8).

“Apa kelemahannya, penelitiannya bagaimana, kualitas penelitian itu apa masih diragukan?” tanya Manahan.

Asmin kemudian menjawab mungkin perlu ada konfirmasi dari Kementerian Kesehatan apakah Indonesia memang memiliki riset tentang ganja medis.

Ia mengungkapkan berdasarkan pengalamannya 15 tahun dunia akademik dalam bidang narkotika ia pun selalu bertanya kepada koleganya di bidang farmasi terkait hal tersebut.

Hal itu karena mereka yang bergerak di bidang farmasilah yang punya keahlian meneliti zat-zat yang tekandung dalam ganja medis.

“Sayangnya tidak ada satupun yang bilang bahwa mereka bisa menggunakan dan mendapat izin, ini kan yang penting license dalam konvensi untuk meriset kegunaan ganja di Indonesia. Kita selalu merujuk ke negara-negara lain, kesuksesan negara lain tentang penggunaan. Karena kita memang tidak punya hasil yang valid tentang kegunaan ganja itu” kata Fransiska.

Ia sepakat perlu ada kontrol dan regulasi terkait hal tersebut.

Namun demikian, ia menekankan bahwa dalam melakukan kontrol dan regulasi terkait hal tersebut diperlukan perspektif kesehatan.

“Tapi sebelum itu risetlah dengan serius, risetlah tanpa kira-kira begitu ya. Karena memang kalau kira-kira akhirnya banyak implikasi yang kita sendiri sulit untuk memprediksi. Dan tidak boleh juga melakukan pembuatan UU tanpa riset karena kita tahu sekarang ada peraturan yang menyebutkan pembuatan UU harus berbasiskan science atau ilmu dan teknologi,” kata dia.

Menurutnya perspektif kesehatan merupakan kunci untuk menyeimbangkan antara kebijakan narkotika dengan kebijakan penanganan atas pengguna narkotika secara ilegal.

Kontrol yang ketat, kata dia, harus dilakukan oleh negara tapi tidak boleh menutup kemampuan negara dalam melakukan kontrol.

“Karena UU narkotik kita sayangnya menutup kemampuan negara kita untuk mengontrol sejak awal karena dilarangnya penggunaan narkotika untuk layanan kesehatan yang akhirnya tidak perlu ada riset karena sudah dilarang duluan,” kata dia.

Ia yakin Kementerian Kesehatan tidak akan langsung memberikan resep penggunaan ganja sembarangan karena memang harus dilakukan dulu ujinya.

Fransiska juga mengatakan saat ini Indonesia sudah punya banyak ahli.

“Sayangnya ahli ini tidak pernah kita gunakan karena memang tertutup kemungkinan untuk melakukan riset yang ujungnya melakukan layanan terbaik bagi masyarakat,” kata dia. (Adriana)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here