JAKARTA – Perkembangan senjata biologi dan 90.000 sel tidur teroris di Indonesia merupakan ancaman nyata dimasa depan. Untuk menghadapinya, negara perlu mengerahkan seluruh perhatian dan kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi rakyat, bangsa Indonesia. Hal ini dipaparkan Dr. Connie Rahakundini Bakri pada Diskusi Publik Pusat Studi Keamanan Internasional, Universitas Padjadjaran Bandung, Kamis (28/5) yang bertemakan ‘Pelibatan TNI Dalam Memerangi Terorisme’.
“Memerangi terorisme harus dengan gotongroyong antara kepolisian dan militer. Pelibatan ditentukan oleh parameter eskalasi, yurisdiksi dan kondisi. Militer harus turun ketika eskalasi tinggi, yurisdiksi tidak bisa dijangkau, atau masih dalam yuridiksi namun negara sudah abnormal. Ini prinsip universal,” jelasnnya.
Ia menjelaskan berbagai pengalaman dari berbagai negara penanggulangan terorisme melewati 5 fase yaitu fase peringatan dini, fase kesiapan, fase pemberitahuan, fase penindakan, kemudian fase pemulihan.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, kekuatan Pertahanan dan Keamanan negara yang bersandar pada TNI dan Polri dapat dipetakan dengan keberadaan TNI dengan alokasi APBN sebesar rata rata Rp 1,7 triliun di masing masing pada 15 KODAM yang ada, 45 KOREM, 332 KODIM yang membawahi KORAMIL dan BABINSA. Kebaradaan POLRI dengan alokasi APBN sebesar rata rata Rp 3,1 triliun di masing masing pada 34 POLDA, 98 POLRESTA, 416 POLRES yang membawahi POLSEK dan BABINKAM.
Connie menjelaskan, umumnya strategi penanganan terorisme yang dapat disiapkan oleh negara adalah penegakan hukum, melakukan indirect strategy dalam bentuk deradikalisasi dan melakukan tindakan yang dilakukan oleh militer.
“Ketiga strategi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama kepolisian dan militer, murni dilakukan hanya oleh militer atau menggunakan standard eskalasi, menurun ditangani kepolisian namun pada saat meninggi ditangani militer,” jelasnya.
Untuk perbandingan dalam penanggulangan terorisme, ia menjelaskan, Singapura menggunakan pendekatan integrasi sipil militer dalam kebijakan Homeland Security nya dengan mengadakan patrol dan latihan rutin bersama antara kepolisian dan militer.
Australia menempatkan tanggung jawab pelibatan militer terhadap terorisme domestik dalam bentuk Tactical Assault Group (Tag West Sasr Dan Tag East 2 Commando). Filipina menempatkan Armed Forces of The Philippines (AFP) sebagai aktor yang kompeten dalam mengatasi serangan teror. Inggris menggunakan eskalasi warna hijau, merah dan hitam. Semakin gelap indikator warnanya, peran militer semakin tinggi. Penentuan eskalasi warna ditentukan oleh MI-6 (The Foreign Intelligence Service of The United Kingdom Government)
HAM dan Negara
Di Indonesia, Connie Rahakundini menjelaskan, doktrin dasar keamanan nasional dalam menghadapi terorisme yang dimiliki POLRI adalah, penanganan awal dengan persuasi, negosiasi dan represif terbatas dengan target membawa ke meja pengadilan. Tindakan kepolisian dilindungi dan dibatasi undang-undang. Anggota kepolisian dikerahkan atas perintah Kapolri dan Kapolda.
Sementara itu TNI melaksanakan penanganan akhir dengan cara total represif, dengan target harus mematikan. Tindakan militer dilindungi dan dibatasi oleh Konvensi Jenewa(International Humanitarian Law), prinsipSiracussa dan prinsip-prinsip kedaruratan nasional yang berlaku universal. Pasukan TNI dikerahkan atas perintah Presiden dan atau Panglima TNI.
“Namun, TNI belum sepenuhnya terlindungi oleh Undang-Undang karena ada ketakutan dari kelompok HAM yang melekat secara tidak tepat di masyarakat. Oleh karena itu salah satu penguatannya ada pada Rancangan Peraturan Presiden ini,” ujarnya
Selama ini menurut Connie ada kesalahan yang harus segera diperbaiki dalam memahami dan menempatkan HAM (Hak Azasi Manusia) dengan Negara yang membuatnya saling bertentangan sehingga berdampak kekacauan dan kelemahan dalam menghadapi terorisme.
“Pemahaman yang salah itu menempatkan HAM berada sebagai The Ubber Alles Position.Pemahaman ini lupa bahwa manusia itu tinggal di dalam suatu wilayah yang harus di lindungi negara. Negara memiliki hak dan kewajiban memastikan keamanan nasional(national security) untuk menciptakan tertib sipil yang melindungi segenap warga dan negara itu sendiri,” tegasnya.
Connie menjelaskan, dalam perang melawan aksi terorisme saat ini TNI hanya didasari Keputusan Panglima (KEPPANG) TNI NOMOR KEP/1013/XII/2017 yaitu dalam pencegahan dilakukan dengan operasi intelejen, operasi teritorial dan operasi informasi. Dalam Penindakan dilakukan operasi intelejen dan operasi tempur. Dalam pemulihan dilakukan operasi intelejen, operasi teritorial dan operasi informasi. (Utari)