JAKARTA – Perdebatan tentang pentingnya cetak uang sendiri atau mengambil pinjaman luar negeri sudah terjadi sejak tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia merdeka. Demikian pengamat ekonomi politik Christianto Wibisono di Jakarta, Kamis (14/5).
Ia menjelaskan, sebetulnya konflik kedua mazhab telah telah berlangsung sejak sanering Rupiah oleh Perdana Menteri RI, Syafrudin pada tahun1950, dari Rp1.000 jadi Rp100 dan Rp500 jadi Rp50. Hal ini menyebabkan mundurnya Gubernur Bank Indonesia Lukman Hakimdari dari PNI karena protes tidak diajak konsultasi oleh Menteri Keuangan Juanda dan Menteri Muda Keuangan Notohamiprojo.
Kemudian sanering dilakukan lagi pada 13 November 1965. Mata uang Rp1.000 diganti satu rupiah uang baru.
“Maka lengserlah Bung Karno via Supersemar 1966. Itu (Soekarno) rezim kiri yang gagal deliver janji Manipol luhur muluk mercusuar Bung Karno,” katanya.
Lalu lanjutnya, 32 tahun kemudian kembali rezim kanan Soeharto juga gagal mendeliver setelah 5 kali devaluasi. Pertama oleh Menkeu terlama Ali Wardhana dengan Radius Prawiro, Gubernur Bank Indonesia Rahmat Saleh sebanyak 3 kali devaluasi dati tahun 1970-1971-1978. Kemudian dilanjutkan oleh Menkeu Radius Prawiro 2 kali devaluasi pada tahun 1983-1986.
“Setelah itu, Pak Harto wanti-wanti Menkeu Sumarlin jangan ada devaluasi, karena malu pidato bolak balik tidak ada devaluasi…. eh lima kali devaluasi,” Christianto Wibisono menceritakan.
Baik Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto menurutnya gagal dalam mengurus masalah keuangan negara yang berujung pergantian kekuasaan.
“Mazhab kiri Bung Karno dan kanan Soeharto keok karena ICOR 6,4 membuat RI tidak berdaya saing, tidak bisa ekspor, tidak ada surplus devisa. Kalau itu tidak di deliver maka proklamator kiri sosialis maupun jenderal kanan junta militer, kedua digusur oleh rakyat yang butuh real sembako bukan pidato dan politik,” ujarnya.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, Christianto Wibisono mengingatkan untuk kembali pada teori Irving Fisher untuk mengatasi masalah keuangan negara.
“Sebetulnya gampang balik ke kuliah ekonomi 101 yang disebut dalam teori Irving Fisher yaitu tentang saling hubungan antara jumlah uang beredar (M) dan perputaran uang dalam satu periode (V) dan harga barang dan jasa (P) dan volume transaksi (T),” jelasnya.
Christianto mengatakan teori velocity of money Irving Fisher itu terkait pada cara menghitung manfaat uang dalam sistem transaksi dalam sistem perdagangam barang dan jasa dan pengaruhnya pada volume ekonomi secara agregat.
“Jadi kalau M ditambah maka T juga harus tambah supaya P nya tidak meroket inflasinya. Juga bila M dan V berubah ya P dan T akan mengikuti. Kan simpelnya begitu,” jelasnya.
Usulan Cetak Uang
Sebelumnya, di tengah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, banyak usulan masuk ke pemerintah dalam mengatasi dampak ekonomi yang terjadi. Salah satunya, muncul pandangan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebesar Rp 600 triliun guna mengatasi krisis yang terjadi.
Melihat ini, Anggota DPR Komisi XI DPR yang juga Sekretaris Poksi XI Fraksi Partai Golkar DPR, M Sarmuji, angkat bicara. Dia merasa perlu meluruskan munculkan usul pencetakan uang itu.
“Ide mencetak uang tidak pernah muncul sebagai ide Fraksi Partai Golkar sebagai solusi untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Bahkan ide ini tidak pernah dibahas dalam rapat Kelompok Fraksi (Poksi XI) atau dikonsultasikan baik kepada Pimpinan Fraksi maupun kepada Pimpinan Poksi XI,” ujar Sarmuji.
Selain itu, Sarmuji juga menyatakan jika Fraksi Partai Golkar menyadari bahwa mencetak uang membawa konsekuensi seperti menurunkan tingkat kepercayaan terhadap rupiah. Inflasi dan menurunnya nilai kurs bisa menimbulkan dampak luas.
“Ibarat mengobati sakit, obat bisa lebih berbahaya dari pada penyakitnya,” tambah Sarmuji.
Sarmuji menerangkan, perdebatan yang serius di dalam DPR terutama di Komisi XI DPR bukan tentang mencetak uang.
“Mencetak uang hanya terjadi debat intens di luar ruang rapat. Kami lebih berkonsentrasi pada penambahan likuiditas, relaksasi kredit, pemulihan ekonomi, insentif fiskal, pembelian obligasi pemerintah oleh BI dengan bunga rendah untuk meringankan beban pemerintah dan hal- hal lain yang terkait dengan itu,” ucapnya. (Utari)