JAKARTA – Rencana pemerintah mencetak sawah baru di lahan gambut seluas 160.000 hektare di Kalimantan Tengah sama dengan salah satu program restorasi gambut yakni revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat, kata Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead.
“Ini sebetulnya seperti R3-nya BRG, revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat. Nah ini bagian dari semangat 3R kita, lahan gambut kritis diperbaiki oleh masyarakat untuk bercocok tanam, perikanan, peternakan, jadi tidak hanya satu komoditas tapi diversifikasi,” kata Nazir Foead saat berkunjung ke Kantor Redaksi LKBN ANTARA di Jakarta, Jumat (3/7).
BRG menerapkan pendekatan pembasahan, revegetasi, revitalisasi sumber mata pencaharian (rewetting, revegetation, revitalization livelihood/3R) dalam melaksanakan restorasi gambut di area bekas terbakar pada 2015.
Menurut dia, di daerah bekas Program Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare di Kalimantan Tengah memang ada areal-areal berupa gambut tipis yang ketebalannya di bawah satu meter. Selain itu, semakin banyak areal di sana yang hilang gambutnya dan sudah menjadi tanah aluvial.
“Karena di dekat sungai, kalau banjir di musim hujan biasanya membawa tanah mineral ke sana. Nah areal itu sebenarnya cocok untuk pertanian intensif,” kata Nazir.
Sedangkan area lahan gambut yang kedalamannya antara satu hingga tiga meter, menurut dia, cocok untuk agroforestri dengan diversifikasi tanaman seperti kopi, nanas, kelapa, sagu, atau tanaman lainnya seperti belangiran.
“Dan tentu kita menghormati PP tentang Gambut, Perpres dan Inpres moratorium. Tidak akan gambut yang masih utuh, masih baik diganggu. Jadi hanya lahan-lahan gambut budi daya tipis yang sudah terbakar dan jadi semak belukar,” ujar Nazir.
Areal lahan gambut yang seperti itu yang, menurut dia, diubah menjadi produktif. “Karena daripada tidak terkelola dan mudah terbakar maka lebih baik itu dikelola oleh petani, oleh masyarakat sehingga produktif, tata airnya diperbaiki, juga risiko kebakarannya menjadi nol”.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan berkaitan dengan rencana pengembangan wilayah baru atau percetakan sawah baru, dari hasil rapat potensi yang dikembangkan memang bisa di atas 255.000 ha di lahan hamparan Kalimantan Tengah.
Bahkan ia sempat menyebutkan terdapat 900.000 ha lahan gambut di Kalimantan sebagai lahan baru persawahan dan lahan gambut yang disiapkan bisa sepertiganya atau 300.000 ha.
Studi dalam waktu tiga minggu yang dilakukan pemerintah dengan luas potensi 164.598 ha dari jumlah tersebut yang sudah ada jaringan irigasi 85.456 ha dan ada 57.195 ha yang sudah dilakukan penanaman padi selama ini oleh transmigran dan keluarganya dan ada potensi ekstensifikasi 79.142 ha.
Penolakan Perempuan Dayak
Sebelumnya kepada Bangkitlah.com dilaporkan masyarakat Kalimantan Tengah mendesak pemerintah membatalkan rencana program transmigrasi di wilayah Kalimantan tengah karena berpotensi akan menimbulkan konflik antara masyarakat transmigrasi dan masyarakat lokal. Margaretha Winda Febiana K, Ketua Badan Eksekutif Komunitas, Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalteng di Jakarta.
Dalam rilisnya ditesampaikan, Provinsi Kalimantan tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di indonesia dengan luas wilayah 153.564,60 km2, mayoritas mata pencaharian Masyarakat Kalimantan tengah adalah Petani ladang berpindah, nelayan Sungai dan pengrajin Anyaman Rotan secara turun temurun Masyarakat Kalimantan Tengah Sudah melakukan pertanian secara turun temurun baik dilakukan oleh laki – laki maupun perempuan.
“Kultur tanah di Kalimantan ini lebih bayak lahan gambut dari pada tanah mineral, namun meski demikian perempuan dayak memiliki inisiatif dan pengetahuan dalam mengelola lahan gambut tersebut,” Margaretha Winda Febiana.
Menurutnya, pada masa orde baru Pemerintah membuka Proyek lahan gambut satu juta hektar yang bertujuan untuk menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hakter lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi. Proyek tersebut dijalankan dengan cara membuat kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut. Proyek ini berakhir dengan kegagalan total. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi.
Pada tahun ini Pemerintah berencana akan mengembangkan food estate di lahan eks- pengembangan lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah, yang bila dilihat dulunya sudah mengalami kegagalan.
“Sehingga mengakibatkan banyak dampak terhadap perempuan dan masyarakat pada umumnya di sekitar lahan gambut, contohnya lahan gambut menjadi kering sehingga berpotensi menyebabkan kebakaran,” ujarnya.
Menurutnya, rencana pemerintah untuk mengembangkan food estate dengan membuka percetakan sawah di lahan gambut dengan cara modern yang memang akan berakibat buruk bagi perempuan dan masyarakat dayak pada umumnya, karena akan mengakibatkan hilangnya kearifan lokal perempuan dayak dan masyarakat dayak pada umumnya untuk berladang dan akan menghilangkan benih-benih lokal yang sudah turun temurun.
“Selain itu tidak ada pelibatan terhadap Masyarakat Khususnya perempuan dalam proses sosiolisasi dan konsultasi Proyek food estate,” katanya.
Beredar berita bahwa masyarakat akan tetap mengelola lahannya pada program percetakan sawah tersebut dengan cara mengajukan proposal. Kemudian pada pola pertanian pemerintah akan mengunakan bibit yang diseragamkan tidak lagi menggunakan bibit lokal orang Dayak.
“Dengan ini kita bisa melihat bahwa pemerintah dengan sengaja ingin meminggirkan pengetahuan dan inisiatif perempuan dayak dalam mengelola dan menjaga hutannya dan lahannya. Dalam program ini pun pemerintah akan membuat transmigrasi besar – besaran yang tentunya ini akan semakin meminggirkan masyarakat lokal, masyarakat Dayak,” tegasnya. (Utari)