JAKARTA – Penjelasan Pemerintah/Menteri ESDM pada Raker dengan Komisi VII DPRRI pada tanggal 4 Mei 2020 tentang alasan belum menurunkan harga BBM meski harga minyak mentah (crude oil) dunia sudah turun tajam sejak sekitar 3 bulan yang lalu, adalah kurang tepat. Hal ini tegaskan oleh pakar energy, Dr. Kurtubi, kepada Pers, Selasa (5/5)
Argumentasi pemerintah mengacu pada perkiraan harga minyak dunia yang akan kembali naik pada level sekitar $40/b pada akhir tahun 2020. Kenaikan harga minyak dunia ini akan terjadi sebagai akibat dari pengurangan produksi OPEC + Mitra sebesar 9.7 MMBCD (juta barrels/hari) pada bulan Juni, dilanjutkan pengurangan sebesar 7.7 MBCD pada bukan Juli- Desember 2020 dan pengurangan produksi 5.8 MBCD pada bulan Januari – April 2021.
“Prediksi harga minyak dunia akan naik ke level sekitar $40/b diakgir tahun 2020 boleh jadi akan terjadi mengingat dari sisi demandakan terjadi kenaikan konsumsi BBM sebagai dampak dari mulai diperlonggarnya implementasi lockdown standar WHO. Kalaupun Pemerintah menaikkan harga BBN karena harga minyak dunia kembaki naik secara signifikan, pemerintah sangat dimungkinkan untuk menaikkan harga BBM yang juga sering dilajukan,” jelas Kurtubi.
Alumnus Colorado School of Mines, Amerika Serikat ini menyebutkan, untuk diketahui bahwa baik dibawah Undang-Undang Pertamina No. 8/1971 maupun dibawah Undang-Undang Migas No 22/2001, bukan Pertamina melainkan Pemerintah/ESDM sebagai Pemegang Kebijakan dan Regulator yang berwenang menentukan tingkat harga jual BBM dalam negeri. Termasuk wewenang menentukan tingkat produksi dan import minyak.
“Sebagai contoh, pada waktu Indonesia masih sebagai negara pengekspor minyak netto anggota OPEC, manakala OPEC memutuskan negara anggotanya untuk mengurangi produksi agar harga minyak dunia tidak turun, maka yang berwenang menentukan alokasi pemotongan produksi bagi semua perusahaan minyak di dalam negeri, adalah Pemerintah/ Menteri ESDM bukan Pertamina. Meski yang berkontrak dengan pelaku usaha migas waktu itu (kontraktor PSC/K3S) adalah Pertamina. Terlebih dengan Undang-Undang No. 22/2001, wewenang dan tanggung jawab harga BBM dalam negeri sepenuhnya ada dibawah kewenangan Menteri ESDM,” katanya.
Alumnus Ecole Nationale Superieure du Peterole et des Moteurs – IFP, Perancis dan Universitas Indonesia ini juga mengingatkan penurunan harga minyak dunia yang sangat tajam dalam 3 bulan terakhir sebagai akibat wabah pandemik covid-19 yang melanda seluruh dunia dan berdampak langsung pada anjloknya pertumbuhan ekonomi setiap negara, maka sudah seharusnya penurunan harga minyak dunia kali ini direspon dengan kebijakan penurunan harga BBM.
“Disinilah letak peran pemerintah sebagai Pemegang Kebijakan di Sektor migas untuk menselaraskan Kebijakan Harga BBM dengan Kebijakan Makro Ekonomi Nasional untuk meminimalisir anjloknya pertumbuhan ekonomi yang pasti akan terjadi sebagai akibat lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus sebaran corvid-19,” jelasnya.
Ketua DPP Nasdem Bidang Mineral dan Energi ini menjelaskan, penurunan harga BBM akan berdampak positif dalam menjaga Konsumsi Rumah Tangga sebagai komponen penting dalam struktur PDB yang terancam tumbuh negatif karena Government spending dan ekspor-impor yang pasti akan anjlok.
“Ditengah jutaan rakyat yang kehilangan sumber nafkah dan jumlah rakyat miskin yang pasti akan bertambah, suatu penurunan harga BBM akan lebih banyak sisi positifnya bagi ekonomi nasional dari pada sisi negatifnya. Termasuk pengurangan keuntungan pelaku usaha hilir/ retail SPBU,” katanya.
Menolak Menurunkan
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM belum menurunkan harga bahan bakar minyak atau BBM. Padahal, harga minyak dunia sejak awal tahun telah turun hingga 66%. Menteri ESDM Arifin Tasrif beralasan harga minyak akan kembali naik dalam waktu dekat.
Dia bahkan memproyeksi harga minyak bakal berada di atas US$ 40 per barel pada akhir tahun. Apalagi OPEC dan sekutunya telah sepakat memotong produksi minyak. Organisasi tersebut sepakat memangkas produksi hingga 9,7 juta barel per hari pada Mei hingga Juni 2020. Kemudian, OPEC dan sekutunya bakal memotong produksi minyak sebesar 7,7 juta barel per hari pada Juli hingga Desember 2020, dan 5,8 juta barel per hari pada Januari 2021 hingga April 2022.
“Kami masih mencermati perkembangan harga minyak mentah terutama di Mei dan Juni 2020,” kata Arifin dalam Rapat Kerja Virtual bersama Komisi VII DPR RI, Senin (4/5).
Lebih lanjut, Arifin mengklaim, harga BBM di Indonesia sudah murah bila dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Selain itu, harga Jenis Bahan Bakar Umum (JBU) telah turun sebanyak dua kali pada tahun ini. Rinciannya, harga BBM turun Rp 300 per liter hingga Rp 1.750 per liter pada Januari 2020. Kemudian, harga BBM turun lagi sebesar Rp 50 per liter hingga Rp 300 per liter pada Februari 2020.
Menurutnya, di sisi lain, penjualan BBM di Indonesia menurun akibat pandemi corona. Bahkan penjualan BBM pada April 2020 anjok hingga 26,4% dibandingkan periode Januari-Februari 2020. Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah pun memutuskan tidak merubah harga BBM.
“Pemerintah menjaga harga tetap karena harga minyak dunia dan kurs tidak stabil serta dapat turun. Menyikapi kondisi ini, beberapa badan usaha memberikan diskon,” kata dia. (Utari)