JAKARTA- Masyarakat Indonesia mengecam keras semua kekerasan pada rakyat khususnya kaum perempuan yang dilakukan oleh rezim Taliban di Afganistan. Hal ini ditegaskan Siti Rubaidah, Ketua Umum Suluh Perempuan kepada pers di Jakarta, Selasa (5/10) menyusul berbagai kekerasan yang terjadi terus menerus terhadap rakyat dan perempuan di Afganistan.
Suluh Perempuan mendesak pemerintah Indonesia agar memastikan terbentuknya sebuah pemerintahan Afganistan yang melindungi semua warga bangsa terutama perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya.
“Taliban adalah pemerintahan yang tidak menjamin kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan sebagai sesama hamba Allah dan sesama manusia,” tegas Siti Rubaidah.
Situasi terakhir saat ini, dibawah kekuasaan Taliban, perempuan tidak mendapat akses atas ruang publik. Seluruh jajaran pemimpinnya adalah kaum laki-laki. Pemerintahan baru ini juga menghapus kementerian perempuan.
“Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan bahwa saat berkuasa, mereka akan tetap menghormati hak-hak perempuan,” tegasnya.
Ia juga menyerukan pihak internasional menggalang solidaritas sebagai bentuk dukungan bagi perjuangan perempuan di Afganistan guna mendapatkan ruang aman dan damai, mendapatkan penghormatan serta dijamin hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.
“Satu-satunya warisan Taliban untuk dunia adalah “talibanisasi perempuan” yaitu suatu upaya domestifikasi perempuan. Perempuan dipandang sebagai sumber fitnah, penyebab permasalahan moral di ruang publik. Maka untuk mengurangi fitnah dan masalah, perempuan dilarang berada di ruang publik,” jelasnya.
Ia memaparkan berdasarkan laporan Human Rights Watch, diperkirakan 87% perempuan dewasa dan anak mengalami kekerasan. Termasuk pengenaan hukum cambuk di depan publik pada perempuan yang mengikuti demonstrasi. Salah satunya adalah Malala Yousafzai, salah seorang perempuan yang menjadi korban. Malala, perempuan Pakistan dari suku Pasthun, menjadi korban penembakan kelompok Taliban.
“Ruang demokrasi terpasung dengan pemantauan ketat pada sosial media,” jelasnya.
Siti Rubaidah menjelaskan, dalam sejarahnya, Afganistan pernah memiliki pemimpin perempuan, Ratu Soraya (1912-1960), perempuan progresif dan mendukung hak perempuan dan pendidikan. Bersama Raja Amanullah Khan, Ratu Soraya melakukan kampanye anti-poligami dan anti berkerudung/hijab.
“Kemerdekaan yang diperuntukkan kita semua…Apakah kamu pikir bahwa bangsa kita dipandang hanya perlu laki-laki untuk membangunnya? Perempuan juga harus ambil bagian seperti pada masa awal negara ini dan Islam dibangun…kita harus menimba ilmu pengetahuan sebanyak dan sesegera mungkin,” demikian Ratu Soraya dikutip Siti Rubaidah.
Asal Usul Taliban
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, pada saat pendudukan Uni Soviet 1979-1989, Amerika Serikat dan NATO membentuk kelompok Mujahidin dibantu Saudi Arabia, Pakistan termasuk Indonesia. Mujahidin melakukan perlawanan militer pada tahun 1984 hingga Soviet runtuh pada tahun 1989.
“Pada masa ini Al Qaeda terbentuk, disusul kemudian dengan Taliban pada tahun 1994,” jelas Siti Rubaidah.
Pada tahun 2001-2021 pasukan koalisi internasional dibawah pimpinan AS menyerang Afghanistan hingga rezim Taliban jatuh. Namun pada bulan Agustus 2021 Taliban kembali berkuasa dan memukul mundur Pasukan AS.
Gerakan Taliban pada awalnya mendapat dukungan Amerika Serikat, Pakistan dan Saudi Arabia dengan maksud menggantikan kekuatan Mujahidin.
“Dalam praktek politiknya, Taliban yang menganut Mazhab Hanafi dengan teologi Maturidi ini, lebih mengedepankan ajaran Islam Deobandi yang konservatif dan menempatkan perempuan sebagai obyek seksual,” tandasnya. (Adriana)