Guru Besar Ilmu Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Profesor Chaerul Anwar Nidom. (Ist)

JAKARTA – Pemerintah diminta tidak terburu-buru memesan vaksin Covid-19 untuk digunakan pada masyarakat Indonesia. Karena para virolog Indonesia menemukan sebanyak 40 virus asal Indonesia dan sejumlah negara di Asia tenggara dan Wuhan memiliki motif ADE (Antibody-dependent enhancement) yang akan meningkatkan keganasan virus setelah vaksinasi. Hal ini disampaikan oleh Hal ini diungkap Guru Besar Ilmu Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Profesor Chaerul Anwar Nidom ketika dihubungi di Surabaya kepada Bangkitlah.com di Jakarta, Sabtu (17/10).

“Sebaiknya vaksin yang akan diaplikasikan diuji dulu apakah akan berefek terhadap adanya ADE atau tidak. Sebab kalau sampai berefek lebih baik baik ditunda. Karena nanti bisa berdampak seperti vaksin demam berdarah atau vaksin SARS,” tegas.

Ia menjelaskan, para peneliti dari Profesor Nidom Foundation (PNF) telah menginvestigasi  40 virus Covid 19 asal Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara dan Wuhan. Hasilnya 40 virus tersebut memiliki motif ADE (Antibody-dependent enhancement) dan 57.5% mengalamai mutasi dari virus asal Wuhan.

“Ternyata 40 virus yang berkembang di Indonesia dan Asia Tenggara yang kami teliti memiliki susunan asam amino yang bermotif ADE. Dengna demikian maka, virus ini akan meningkat patogenisitasnya, dan akan meningkat keganasannaya tatkala ketemu antibodi dalam tubuh manusia,” jelas Nidom.

Sebelumnya, Nidom menjelaskan fenomena ADE pada virus yang kembali ke dalam tubuh manusia akan semakin ganas setelah di vaksinasi. Ini terjadi karena sistim antibodi dalam tubuh manusia merespon virus dengan mengikatnya. Sehingga virus lain bisa masuk dalam sel-sel tubuh.

“Seperti pada kasus vaksinasi demam berdarah di Pilipina yang malahan menyebabkan kematian. Setelah divaksinasi, timbul keganasan yang menyebabkan wabah pada orang-orang, anak-anak yang belum pernah terinfeksi. Ini disebabkan karena anti bodi yang ditimbulkan oleh vaksin itu mengikat virus kemudian virus itu mencari jalan keluar lain untuk masuk ke dalam sel,” jelasnya dalam wawancara CNNIndonesia TV, Rabu (16/9) lalu.

Selain demam berdarah, Nidom menjelaskan, virus yang tidak bisa diatasi dengan vaksin adalah HIV, Ebola, MERS dan SARS. Semua virus ini memiliki motif ADE yang akan meningkatkan keganasan virus setelah vaksinasi.

Berdasarkan temuan lain dalam bukti empiris, Nidom menduga virus Corona bisa saja tidak menyerang lewat mukosa atau selaput lendir dirongga tubuh,  tetapi masuk lewat leukosit atau darah putih pada sel makrofag, sehingga memiliki daya rusak jangka panjang. Makrofag adalah sel khusus dalam jaringan ikat pada tubuh.

“Jadi seseorang yang sudah divaksin kemudian ada motif ADE dalam tubuhnya, tatkala dia bersentuhan dengan virus lain yang, maka virus lain itu akan lebih ganas dari virus sebelumnya karena dia bisa masuk lewat sel makrofag.”

Salah satu virus yang masuk lewat selmakrofag adalah virus HIV yang merusak sistim imun dalam tubuh. Analalogi ini dia sematkan juga pada pada orang sehat yang sudah terinfeksi Covid-19 tanpa gejala klinis atau OTG (Orang Tanpa Gejala).

“Dengan demikian virus Covid-19 yang sudah lemah karena imunitas tubuh orang tersebut sebelumnya, setelah divaksin akan kembali kuat dan mengganas pada orang tersebut,” ujarnya.

Fenomena ADE

Nidom menjelaskan tentang ADE yang adalah adalah fenomena virus berikatan dengan antibodi untuk menginfeksi sel inang. Potensi terjadinya fenomena ADE ini bisa dilihat dari pola tertentu dari susunan DNA/RNA virus.

Sebelumnya, virus corona menginfeksi sel lewat reseptor ACE2 yang ada di paru-paru. Tapi dengan fenomena ADE, maka sel akan masuk ke sel lewat makrofag.

“Sehingga, virus berkembang di sel mikrofag (sel darah putih) bukan di sel saluran pernafasan lagi,” tuturnya.

Akibatnya, infeksi virus corona bisa terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis (orang tanpa gejala/OTG) seperti batuk, demam, dan sebagainya. Akibat lain, infeksi virus corona jadi berlangsung kronis dan lama serta melemahkan sistem imun. 

Chaerul menambahkan ADE menjadi titik kritis dalam disain dan pengembangan vaksin. Studi terdahulu terhadap kandidat vaksin Dengue (DENV) memberikan gambaran bahwa ADE dapat memicu tingkat keparahan penyakit pasca vaksinasi.

Sebagai contoh seperti terjadi pada penerapan vaksin demam berdarah yang sempat diuji di Filipina pada 2017 lalu. Vaksin itu menurut Nidom sudah melewati uji klinis tahap III dan dikomersialiisasikan.

Menurut Nidom, saat vaksin itu diuji ke anak-anak untuk memicu antibodi, vaksin itu malah menimbulkan patogensitas lebih tinggi ketika pasien terinfeksi virus berikutnya. Akibatnya, uji vaksin demam berdarah dihentikan di Filipina.

Contoh kedua adalah pada uji klinis pada vaksin untuk HIV AIDS di negara di Afrika. Vaksin yang diproduksi oleh sebuah lembaga riset Amerika Serikat itu ternyata malah menimbulkan masalah baru akibat muncul fenomena ADE.

“Maka program vaksinasi HIV distop,” tuturnya lagi.

Siapa Yang Tanggungjawab?

Peneliti Biologi Molukuler, Ahmad Utomo mengingatkan, temuan PNF ini bisa dijadikan rujukan dasar kehati-hatian dalam kebijakan menggunakan vaksin. Karena ketika pemerintah menjadikan vaksin sebagai senjata pamungkas maka  fenonema ADE pada virus yang menjadi vaksin Covid bisa menimbulkan dampak serius dan meninggal.

“Kalau ada yang jadi korban meninggal, siapa yang tanggung jawab. Karena sampai saat ini belum jelas. Kalau kita impor dari Sinovac yang tanggung jawab apakah Sinovac,  Pemerintah Indonesia ataukah Biofarma?” katanya.

Nidom dan Ahmad Utomo sepakat pemerintah seharusnya berhati-hati ketika berbicara vaksin. Vaksin bukan solusi tunggal melawan Covid-19. Apalagi  narasi yang dibuat tentang vaksin membuat masyarakat semakin lengah.

“Kunci melawan Covid tetap pada penerapan protokol kesahatan. Jangan sampai mengumbar ketersediaan vaksin mengakibatkan blunder,” jelasnya. (Utari)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here