JAKARTA – Kalangan budayawan internal menilai, sawahisasi berupa rencana pencetakan di atas tiga ratus ribu hektar sawah baru di Kalimantan, sebagai salah satu melepaskan ketergantungan orang Dayak terhadap perladangan dengan cara bakar, karena terus menimbulkan asap tebal setiap kali musim kemarau, tidak lebih dari praktik pembunuhan terhadap kebudayaan Suku Dayak secara keseluruhan.
Hal itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, Anhtropolog Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak, Dr Ir Kristianus Atok dan Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Tobias Ranggie SH (Panglima Jambul), Senin, (1/6).
“Membuat saya miris, dan terpukul, patut diduga ada oknum politisi Dayak, oknum birokrat yang mengaku dirinya orang Dayak, secara terbuka mendukung program sawahisasi ini. Saya harap masalah ini supaya segera dibahas secara terbuka, melalui urun rembuk, dibahas secara anthropologi budaya, Kalau sawahisasi dipaksakan, sama saja dengan membunuh orang Dayak secara tidak langsung, karena membunuh kebudayaan berladangnya,” kata Tobias Ranggie.
Tobias Ranggie menghimbau kepada Menteri/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Manoarfa, dan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, supaya mengkali lebih mendalam terhadap rencana sawahisasi, sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara dari Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana diumumkan Presiden Indonesia, Joko Widodo, di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.
Yulius Yohanes dan Kristianus Atok, mengatakan, program pengadaan pangan dengan mencetak sawah di Kalimantan, memang mesti didukung, tapi jangan dipaksakan di kalangan Suku Dayak. Karena di dalam kebudayaan Dayak, tidak mengenal bersawah.
Menurut Yulius Yohanes dan Kristianus, Kementerian Bappenas dan Kementerian Pertanian, mesti belajar terlebih dahulu dengan Pemerintah Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, dimana telah bekerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir (Batan) untuk mengembangkan varietas padi gunung.
“Ternyata hasilnya cukup bagus, sebagaimana sudah dikembangkan di Kamboja, Thailand dan Vietnam. Tidak etis kalau program pembangunan nasional di Kalimantan, selalu dilihat dari sudut pandang Jawa. Hentikan program jawanisasi di dalam menerapkan program pembangunan di Kalimantan,” ujar Kristianus Atok.
Yulius Yohanes, mengatakan, berladang dengan cara bakar bagi Suku Dayak, bagian dari religinya. Berladang dengan cara bakar, orang Dayak membangun jaringan infrastruktur kebudayaannya. Sehingga sawahisasi di Kalimantan tidak boleh dipaksakan di kalangan Suku Dayak.
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, sehubungan dengan itu, lanjut Yulius Yohanes, aparat penegak hukum harus paham akan anthropolgi budaya, agar tidak melakukan kriminalisasi terhadap orang Dayak yang melaksanakan tahapan religinya melalui berladang dengan cara bakar. Sementara berladang dengan cara bakar, sudah dilakukan Suku Dayak ribuan tahun, sebelum Republik Indonesia lahir.
“Kalau dalam musim kemarau tahun 2020, masih lagi terjadi penangkapan terhadap orang Dayak yang buka ladang dengan cara bakar, sementara berladang bagian dari religi Dayak, tetap akan mengundang reaksi keras dan meluas. Tolong ini diperhatikan. Kesalahan aparat penegak hukum tahun 2019, jangan sampai terulang lagi dalam musim kemarau tahun 2020 dan seterusnya,” ujar Yulius Yohanes.
Yulius Yohanes, mengingatkan implikasi seminar nasional diselenggarakan Kantor Kementerian Bappenas di Jakarta, Selasa, 14 April 2019, di masa salah satu point penting, mengingat, tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi di China, Jepang dan Korea Selatan, maka pembangunan nasional di masa mendatang, harus berdasarkan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi budaya dalam pembangunan.
Demikian, pula kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, harus memperhitungkan bahwa berladang adalah kebudayaan Dayak, berladang adalah bagian dari religi Dayak, dan lebih dari 80 persen tahapan religi Dayak digelar selama proses perladangan.
“Itulah sebabnya upacara syukuran selepas panen padi, dimana disebut Gawai di Provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak, Kaamatan di Sabah, Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, setara dengan Perayaan Natal di kalangan Agama Katolik/Kristen dan Idul Fitri di kalangan Agama Islam,” ujar Yulius Yohanes.
Yulius Yohanes mendukung sepenuhnya program swasembada pangan di Kalimantan, tapi harus sesuai dengan kebudayaan Dayak, melalui pengembangan varietas padi gunung, sebagaimana sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat yang bekerjasama dengan Batan. (Alexa)