JAKARTA – Indonesia membutuhkan dana untuk bisa memenuhi kebutuhan mengatasi wabah Corona dan dampaknya pada sosial dan ekonomi pasca wabah. Perdebatan terjadi antara usulan mencetak uang sendiri dan usulan mengambil pinjaman luar negeri. Gubernur Bank Indonesia sudah menolak mencetak uang sendiri. Namun pengamat ekonomi politik, Christianto Wibisono menegaskan boleh cetak uang dengan syarat tertentu.
“Uangnya buat apa dan siapa? Boleh cetak uang asal dipakai untuk produksi, bisa ekspor karena ICOR turun. Jadi produk RI bisa berdaya saing ya OK. Tapi (tidak boleh-red) kalau cuma inflatoir yang cuma mengulangi sejarah 3 sanering 5 devaluasi selama 1950-1986-1998 terus terpuruk lagi,” tegasnya di Jakarta, Rabu (13/5).
Kepada Bangkitlah.com dilaporkan, Christianto Wibisono menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi Indonesia adalah membasmi rentseekers supaya ekonomi Indonesia bisa kompetitif
“Kata kunci itu ICOR kita paling tidak efisien se ASEAN. High social political bureaucratic rentseekers yang harus dibasmi habis. Supaya ekonomi RI bisa competitive setara dengan mata uang Singapura. Dulu Rupiah kita setara Dollar Singapura. Sekarang 10.000 kali lipat. Ya karena mereka raja ekspor dan kita defisit neraca perdagangan, pembayaran dan CA,” ujarnya.
Sebelumnya ia menjelaskan mengatakan saat ini terjadi kehebohan para pengamat ekonomi dan politik pada dua mazhab antara yang cetak uang versus pandemic bond.
“Salam dari Bung Karno dan Pak Harto berdasarkan pengalaman dan nasib mereka terpuruk karena rupiah bankrupt. Sebtulnya ‘kan gampang kalau balik ke Irving Fisher,” jelasny.
Ia mengingatkan kesalahannya adalah karena ada penambahan M, maka semua besaran dalam axioma MV=PT harus ikut berubah ke equilibrium baru. Kalau hanya tambah M tapi tidak ada T maka P akan naik.
“Jadi kalau tambah Rp600 triliun tapi tidak ada tambahan produksi barang atau jasa ya pas% dan BK lengser. Sama halnya dengan Mei 1998, rupiah terpuruk 5 kali lipat dari Rp2.500 Juli 1977 ke 17.000 Januari 98. Maka dipanggil Steve Hanke mau bikin CBS tapi telat,” jelasnya.
Menurutnya karena terlambat maka Soeharto sudah tidak bisa tertolong pada Mei 1998.
“Kalau itu dilakukan waktu Baht merebak 2 Juli 1997 ketika fundamental ekonomi RI masih kuat-kuatnya, katanya mungkin bisa menolong. Tapi Tuhan menghendaki Soeharto turun, sudah kedaluwarsa 32 tahun,” jelasnya. (Utari)